LAPORAN
PRAKTIKUM REKAYASA DAN PROSES PANGAN
Pengamatan Daging dan Pembuatan
Daging Curing
Disusun
Oleh:
Kelompok
1
Ashilah
Salim 2014349119
Dewi
Arfika Yuliyati 2014349118
Dwi
Febriyani 2013340019
Luneta
Aurelia Fatma 2013340014
Muhammad Rofit Amrizal 2013340096
Nisrina
Khairani 2013340048
Triana
Ayu Wulandari 2013340052
Jurusan
Teknologi Pangan
Fakultas
Teknologi Industri Pertanian
Universitas
Sahid Jakarta
2015
1. LATAR
BELAKANG
Daging diperoleh setelah otot
berubah melalui proses penyembelihan atau ternak dimatikan. Selama dan segera
setelah penyembelihan ternak, otot mengalami perubahan-perubahan yang
mempengaruhi sifat-sifat dan kualitas daging. Daging didefinisikan sebagai
semua jaringan tubuh hewan dan produk hasil olahannya yang sesuai untuk
dikonsumsi. Daging harus tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Termasuk ke dalam definisi daging di atas adalah organorgan
seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot.
Daging tersusun atas berbagai macam jaringan tubuh seperti jaringan adiposa,
jaringan ikat, jaringan saraf, jaringan epitel dan jaringan otot. Jaringan otot
merupakan komponen terbesar dari daging sehingga pembahasan mengenai daging
lebih banyak mempelajari sifat dari jaringan otot ini, khususnya otot
sekeletal. Namun demikian yang sering dijadikan pembahasan tentang daging
adalah hanya urat daging (jaringan otot skeletal) yang dikonversikan menjadi
daging setelah hewan dipotong
(Suharyanto, 2008).
Bila merujuk pada SNI 01-3947-1995
dan SNI 01-3948-1995 maka daging sapi/kerbau dan kambing/domba dideskripsikan
sebagai urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging pada bagian
bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi/kerbau yang sehat waktu
dipotong. Sementara untuk daging kuda belum dicantumkan dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI). Jika merujuk pada SNI, maka daging adalah yang menyatu dengan
karkas. Karkas adalah ternak yang telah disembelih kemudian dibuang darahnya,
dikuliti (kecuali babi)/dibului pada
unggas, dibuang kepalanya dari pangkal kepala, dibuang saluran pencernaanya, dibuang organ dalamnya
kecuali ginjal, dibuang kaki depan dan belakang dari lututnya (kecuali babi,
utuh). Pada Unggas ada yang memasukkan leher bukan ke dalam kategori bagian
karkas (Suharyanto, 2008).
Daging
dapat dikategorikan berdasarkan asalnya (jenis ternaknya), yaitu (Suharyanto,
2008) :
Ø
Daging merah meliputi daging sapi, babi, kambing, domba, rusa, kerbau, onta,
dan lain-lain.
Ø
Daging putih meliputi semua jenis unggas, c) daging ikan, yaitu semua
produk-produk ikan dan laut; d) daging hewan liar, berasal dari hewan yang
belum terdomestikasi.
Setiap
jenis ternak memiliki ciri-ciri tersendiri terutama dalam hal warna dan
lemaknya. Hal ini dapat dijadikan pegangan dalam membedakan jenis daging
berdasarkan asal ternaknya. Karaktersitik tersebut adalah (Suharyanto, 2008) :
1. Daging sapi
• Warna merah khas daging sapi: warna gelap,
warna keungu-unguan dan akan berubah menjadi merah chery bila daging tersebut
kontak dengan oksigen terbatas.
• Serat daging halus dan sedikit berlemak
tergantung letak daging dalam karkas.
• Konsistensi padat.
• Lemak berwarna kekuning-kuningan.
2. Daging kerbau
• Daging berwarna lebih merah dari daging
sapi.
• Serat otot/daging agak kasar.
• Lemaknya berwarna putih.
3. Daging domba
•
Warna merah khas domba, merah lebih gelap.
•
Daging terdiri dari serta-serat halus yang sangat rapat jaringannya.
•
Konsistensi cukup padat.
•
Diantara otot-otot dan bawah kulit terdapat banyak lemak.
•
Lemak berwarna putih.
•
Daging domba jantan berbau khas.
4. Daging kambing
•
Daging berwarna lebih pucat dari domba.
•
Lemak berwarna putih.
5. Daging ayam
• Warna daging pada umumnya
keputih-putihan.
• Serat daging halus.
• Konsistensi kurang padat.
• Warna putih kekuning-kuningan dengan
konsistensi lunak.
Curing merupakan proses pemeraman
daging dengan menggunakan garam sendawa (garam salpeter) biasanya dalam bentuk
NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium
tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan
hanya dengan garam salpeter/sendawa dan garam dapur saja dan kemudian,
ditambahkan bahan-bahan lainnya bila akan dibuat produk olahannya (Suharyanto,
2008).
Curing itu sendiri merupakan cara
mengawetkan daging secara kimiawi. Produk dari daging curing ini disebut dengan
cured meat. Biasanya cured meat ini
merupakan produk intermediate daging karena setelah dicuring, daging
bisa diolah menjadi olahan lainnya, misalnya sosis, bakso dan lain-lainnya.
Curing pada daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging,
menstabilkan flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki produk
daging (misalnya sosis) dengan warna merah cerah daging, maka perlu dicuring
dengan nitrit (Firman, 2011).
Curing memiliki tiga tujuan utama,
yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan warna (color). Curing daging
membutuhkan garam yang merupakan bahan pengawet pangan pertama digunakan
manusia. Garam telah menjadi bahan penting dalam pengawetan produk-produk
peternakan dan perikanan. Pada tingkat tertentu, garam mencegah pertumbuhan
beberapa tipe bakteri yang bertanggung jawab dalam pembusukan daging. Garam
dapat mencegah pertumbuhan bakteri, baik yang disebabkan oleh efek penghambat
langsung dari bakteri maupun oleh efek pengeringan yang dimiliki bakteri dalam
daging (Heni, 2007).
Curing merupakan teknik pengawetan
daging dengan menggunakan garam dalam konsentrasi tertentu. Seiring dengan
berkembangnya rantai dingin, metode curing dinilai tidak efisien namun curing
tetap dilakukan dengan tujuan membentuk sifat sensoris daging. Curing bertujuan
untuk memperpanjang masa simpan daging,menghambat aktibitas mikrobia terutama
Clostridium botulinum, memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah
memperbaiki warna daging menjadi merah pink. Penyebab warna merah karena
bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso)
yang kemudian berekasi dengan pigmen daging (mioglobin) membentuk
nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah menarik dan haemoglobin.
Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik kemungkinan dikarenakan adanya
reaksi antara nitrit dengan komponen volatile daging. Contoh produk olahan
daging curing yang banyak di pasaran seperti adalah bacon (daging babi, sapi,
kalkun), sosis (hotdog, franks, cocktaill), cornet dan dendeng (Rahmawati,
2011).
2. TEORI
Kualitas karkas dan daging
dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah pemotongan yang
mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi
listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling,
metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot
daging.
Pada dasarnya, kualitas karkas
adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi
pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah
daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai
karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe ternak yang
menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak
intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai karkas dapat diukur
secara subyektif, misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode panel.
Disamping kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil, yaitu estimasi
jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas.
Faktor kualitas daging yang dimakan
terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau
dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak
intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang
selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan
kualitas daging.
Daging
Daging
merupakan komponen utama karkas yang tersusun dari lemak, jaringan adipose
tulang, tulang rawan, jaringan ikat dan tendon. Komponen-komponen tersebut
menentukan ciri-ciri kualitas daging, organ-organ misalnya hati, ginjal. Otak,
paru-paru, jantung, limpa, pankreas dan jaringan otot tidak termasuk dalam
definisi ini.
Daging
merah adalah daging yang menunjukkan warna merah sebelum dimasak. Daging sapi,
domba, kambing, kelinci, kerbau dan daging rusa disebut dengan daging merah.
Daging ternak mamalia umumnya disebut daging merah. Warna merah yang terdapat
pada daging-daging tersebut disebabkan oleh kandungan dari mioglobin. Mioglobin
adalah protein yang membawa oksigen pada jaringan hewan ternak (Wikipedia,
2005).
Berdasarkan
keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu daging segar
yang dilayukan atau tanpa pelayuan, daging segar yang dilayukan kemudian
didinginkan (daging dingin), daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian
dibekukan (daging Beku), daging masak, daging asap, dan daging olahan (Tafal,
1981). Daging segar jika dipotong mula-mula berwarna ungu tapi lama kelamaan
permukaan daging berubah berwarna merah dan akhirnya menjadi coklat.
Terbentuknya warna coklat ini sering digunakan sebagai petunjuk menurunnya
Sifat fisiologi daging sangat menarik untuk dipelajari.
Terjadinya
fenomena-fenomena seperti variasi perubahan tekstur pasca penyembelihan dan pemotongan perlu dikaji
lebih mendalam. Jika dilakukan pentahapan proses yang didasarkan pada urutan
proses yang terjadi pasca penyembelihan, proses awal yang terjadi pada daging
dikenal dengan istilah prerigor, kemudian diikuti rigor mortis kemudian
diakhiri dengan post rigor atau pasca rigor. Hewan setelah disembelih, proses
awal yang terjadi pada daging adalah pre rigor. Setelah hewan mati, metabolisme
yang terjadi tidak lagi sabagai metabolisme aerobik tapi menjadi metabolisme
anaerobik karena tidak terjadi lagi sirkulasi darah ke jaringan otot. Kondisi
ini menyebabkan terbentuknya asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk.
Akibatnya pH jaringan otot menjadi turun. Penurunan pH terjadi perlahan-lahan
dari keadaan normal (7,2-7,4) hingga mencapai pH akhir sekitar 3,5-5,5.
Sementara itu jumlah ATP dalam jaringan daging masih relatif konstan sehingga
pada tahap ini tekstur daging lentur dan lunak. Jika ditinjau dari kelarutan
protein daging pada larutan garam, daging pada fase prerigor ini mempunyai
kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase postrigor. Daging pada
fase prerigor. Hal ini disebabkan pada fase ini hampir 50% protein-protein
daging yang larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan
(Forrest et al, 1975).
Karakteristik
ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan
produk-produk yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya.
Mengingat pada sistem emulsi dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik
untuk berperan sebagai emulsifier. Tahap selanjutnya yang dikenal sebagai tahap
rigor mortis. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging. Jaringan
otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering
disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini perlu diketahui
kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan
pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan
daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat
protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami
crosslinking. Kekakuan yang terjadi juga dipicu terhentinya respirasi sehingga
terjadi perubahan dalam struktur jaringan otot hewan, serta menurunnya jumlah adenosine
triphosphat (ATP) dan keratin phosphat sebagai penghasil energi (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992).
Jika
penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram dan
pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan
kelenturan otot. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energi yang
dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi reticulum sarkoplasma sebagai
pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca di sekitar miofilamen serendah
mungkin. Akibatnya, terjadi pembebasan ionion Ca yang kemudian berikatan dengan
protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik
antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin). Proses ini ditandai dengan
terjadinya pengerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik
(irreversible). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan
semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari 0,1 mikro
mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna. Daging menjadi keras dan kaku.
Keadaan rigor mortis yang menyebabkan karakteristik daging alot dan keras
memerlukan waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk kembali.
Tanda
melunaknya kembali tekstur daging menandakan dimulainya fasepost rigor atau
pascarigor. Melunaknya kembali tekstur daging bukan diakibatkan oleh pemecahan
ikatan aktin dan miosin, akan tetapi akibat penurunan pH. Pada kondisi pH yang
rendah (turun) enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garis garis gelap pada
miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara serabut-serabut otot. Enzim
katepsin yang bersifat proteolitik, juga melonggarkan struktur protein serat
otot .
Mutu
daging dikaitkan dengan aspek konsumsi (the eating quality of meat) dipengaruhi
oleh beberapa faktor meliputi: a. Warna b. Water holding capacity dan Juiciness
c. Tekstur dan keempukan d. Odor dan Taste (Astawan, 1989.)
Daging Curing
Cured meat (daging curing) dihasilkan dari
proses pemberian garam curing kepada daging. Garam curing terdiri dari garam,
nitrit dan atau nitrat, gula serta bumbu lain. Curing dapat dilakukan secara
kering (dry curing) atau secara basah (wet curing). Curing kering dilakukan
dengan melumuri daging dengan garam curing. Curing basah (wet curing atau
dikenal juga sebagai brine curing) dilakukan dengan merendam daging dalam
larutan garam curing atau dengan menyuntikkan larutan garam curing ke dalam
daging dengan alat khusus. Daging yang telah diberi garam curing disimpan
beberapa hari, kemudian daging dibilas, yang selanjutnya siap disajikan atau
diasap.
Garam nitrat dan nitrit pada umumnya
sering digunakan pada proses curing daging guna mendapatkan warna yang baik dan
mencegah pertumbuhan mikrobia. Mekanisme curing menurut Winarno (2002) adalah
nitrit bereaksi dengan gugus sulfhidril dan membentuk senyawa yang tidak dapat
dimetabolisasi oleh mikrobia dalam kondisi anaerob. Pada daging, nitrit
membentuk nitroksida yang dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobin
yang berwarna merah cerah.
Pembentukan nitrooksida dapat
terlalu banyak jika hanya menggunakan garam nitrit, oleh sebab itu biasanya
digunakan campuran garam nitrat dan garam nitrit. Garam nitrat akan tereduksi
oleh bakteri nitrat menghasilkan nitrit. Peranan garam nitrat sendiri sebagai
bahan pengawet masih dipertanyakan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
didapat bahwa nitrat tidak dapat mencegah kebusukan, bahkan akan mempercepat
kebusukan dalam keadaan aerobik.
Gula berfungsi untuk memperbaiki
flavor, mengurangi rasa asin akibat penambahan garam,mengurangi kekerasan akibat
adanya penambahan garam (pelunak), mempengaruhi warna melalui karamelisasi.
Waktu curing yang lama akan member kesempatan bakteri untuk memanfaatkan gula sebagai
sumber nutrient. Gula efektif sebagai pemgawet
karena menghambat pertumbuhan bakteri.
Air selain sebagai carrier, juga penting
untuk mengatur juiceness dari produk yang dihasilkan.
3. Formulasi dan
Perlakuan
Cara
Kering
|
Cara
Rendam
|
Daging 200 gram
|
Daging 200 gram
|
Sendawa 3% b/b daging
|
Sendawa 3% b/b daging
|
Garam 6% b/b daging
|
Garam 6% b/b daging
|
Gula pasir 3% b/b daging
|
Gula pasir 3% b/b daging
|
-
|
Air 5% b/b daging (ml)
|
Perlakuan daging curing
Curing dapat dilakukan, baik pada daging
segar (cured-raw meats) maupun daging olahan (cured-cooked meats). Cured-raw
meats tidak mengalami proses pemanasan selama pengolahannya, sedangkan
cured-cooked meat mengalami proses pemanasan, seperti pasteurisasi atau sterilisasi. Metode
curing dapat dikelompokkan sebagai berikut (Hendry, 2011) :
1) Dry
curing
Metode
ini merupakan cara tradisional, terutama untuk cured-raw meats. Dagingdiselimuti
garam, gula, nitrit dan disimpan pada suhu rendah. Garam kemudian akan memasuki
jaringandaging. Pada saat yang bersamaan, cairan juga akan keluar dari dalam
daging. Nitrit berfungsi untuk fiksasi warna merah daging, antimicrobial terutama
Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Nitrit merupakan bahan tambahan
yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging pada proses curing. Selain itu,
nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan clostridium botulinum yang bersifat racun
bila dikonsumsi manusia sehingga menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi
nitritoksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen
yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitritoksida
dan myoglobin berubah menjadi nitritoksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang
digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama
sodium nitrite. Gula berfungsi untuk memperbaiki flavor, mengurangi rasa asin
akibat penambahan garam,mengurangi kekerasan akibat adanya penambahan garam
(pelunak), mempengaruhi warna melalui karamelisasi. Daging disimpan dalam
refrigerator selama 7 hari.
2) Curing
basah
Curing
secara basah adalah dengan merendam daging kedalam larutan yang mengandung
bahan-bahan curing. Caranya adalah merendamkan daging kedalam larutan garam dengan
perbandingan 1:1. Larutan garam yang dibuat adalah 6% NaCl, 3% sendawa, 3% gula
dan 5% air. Perendaman dilakukan selama 7 hari dan disimpan dalam refrigerator.
4. Prosedur Kerja
4.1 Pengamatan Fisik Kimia
·
Pengamatan
Warna Daging
Diamati warna daging
kambing yang ingin di olah dengan mata.
·
Keempukan
dan Tekstur Daging
Keempukan dan tekstur
daging secara relatif dengan cara di sentuh dan di pijit.
·
pH
Daging
·
Susut
Masak
·
Warna
Holding Capacity (WHC)
-
Metode Sentrifues
4.2 Daging Curing
5. Data
Pengamatan
5.1 Data Pengamatan Fisikokimia Daging
Daging
|
Warna
|
Tekstur
|
pH
|
%WHC
|
%SusutMasak
|
Ayam
|
Kuning
kemerahan
|
Kenyal,
agak keras
|
6
|
29
|
41
|
Kambing
|
Coklat
pucat
|
Empuk
|
6
|
45
|
36
|
Kerbau
|
Merah
tua
|
Empuk
|
6
|
38
|
39
|
Sapi
|
Merah
tua
|
Empuk
|
5
|
30
|
25
|
1)
WHC
Bobot daging :
10 gram
Volume air terserap :
4,5 mL
%WHC =
=
= 45%
2)
SusutMasak
a.
Bobot
daging awal (Wo) : 50 gram
b.
Bobot
daging akhir (Wi) : 32 gram
c.
%Susut
masak =
x 100%
= x 100%
= 36%
Daging sebelum di
kuring
Jenis
curing
|
Warna
daging
|
Tekstur
|
Bau
daging
|
Kering
|
3
|
2
|
2
|
Basah
|
3
|
2
|
2
|
Daging setelah penguringan
Jenis
curing
|
Warna
daging
|
Tekstur
|
Aroma
daging
|
Kering
|
2
|
3
|
4
|
Basah
|
2
|
3
|
4
|
Ket:
Warna
1. Merah tua
2. Merah pucat
3. Coklat pucat
4. Coklat tua
|
Ket:
Tekstur
1. Sangat lunak
2. Lunak
3. Agak lunak
4. Keras
|
Ket:
Aroma
1. Sangat amis
2. Amis
3. Agak amis
4. Tidak amis
|
Daging setelah dipanggang
Jenis curing
|
Warna daging
|
Tekstur
|
Aroma daging
|
Rasa
|
Kering
|
4
|
3
|
4
|
1
|
Basah
|
3
|
3
|
4
|
2
|
Keterangan :
Tekstur
|
Aroma
|
Rasa
|
Warna
|
||||
1
|
Sangat empuk
|
1
|
Sangat amis
|
1
|
Sangat Gurih
|
1
|
Sangat merah
|
2
|
Empuk
|
2
|
amis
|
2
|
Gurih
|
2
|
merah
|
3
|
Agak empuk
|
3
|
Agak amis
|
3
|
Agak gurih
|
3
|
Merah gelap
|
4
|
Tidak empuk
|
4
|
Tidak amis
|
4
|
Hambar
|
4
|
Abu-abu
|
6. Pembahasan
Daging
merupakan semua
jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut
dapat dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging
merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibandingkan dengan
protein nabati. Kualitas
daging dipengaruhi oleh proses sebelum, saat dan sesudah penyembelihan.Bagian yang
terpenting yang menjadi acuan dalam pemilihan daging oleh konsumen adalah sifat fisik. Sifat fisik tersebut antara lain warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan.Daging memiliki sifat fisik yang berbeda antara
sumber bahan satu dengan yang lainnya. Pada praktikum ini kami mengamati empat jenis daging yang berbeda, yaitu ayam,
kambing, kerbau, dan sapi. Keempat daging tersebut diamati dan dicek warna,
tekstur,pH, %WHC, dan %susut masaknya.
Parameter warna merupakan hal
pertama yang diamati konsumen untuk memilih daging. Daging
dengan warna menyimpang dianggap sebagai daging berkualitas rendah. Berdasarkan hasil praktikum didapatkan
hasil warna daging ayam kuning
kemerahan, kambing cokelat pucat, kerbau dan sapi merah tua. Intensitas
warna merah daging yang berbeda-beda dipengaruhi oleh mioglobin. Perbedaan kadar miglobin
menyebabkan perbedaan intensitas warna daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kadar mioglobin adalah spesies, jenis kelamin, umur dan aktifitas fisik hewan.
Hal ini menjelaskan kenapa daging kerbau
lebih merah dari daging sapi
dan daging sapi
lebih merah dari daging ayam.
Warna
daging juga dipengaruhi oleh kondisi penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan,
serta suhu dan lama waktu penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi oksidasi mioglobin yang
menyebabkan perubahan warna daging.Ketika daging
segar dipotong, maka warna awal yang terlihat adalah warna merah keunguan dari
mioglobin. Setelah beberapa saat terpapar dengan oksigen diudara, maka
permukaan daging segar tersebut akan berubah warna menjadi merah terang karena
terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin. Permukaan daging yang
mengalami kontak dengan udara untuk waktu lama, akan berwarna coklat, karena
oksimioglobin teroksidasi menjadi metmioglobin.
Pada daging ayam warna seharusnya yang
baik adalah putih kekuningan begitupula dengan daging kambing seharusnya yaitu
merah kecoklatan. Penyimpangan ini dimungkinkan terjadi karena faktor setelah
proses penyembelihan yang menyebabkan warna daging sudah teroksidasi lama sehingga
warna dagingnya sudah tidak segar dan
usia ayam.
Keempukan
dan tekstur daging merupakan
parameter yang menentukan kualitas daging. Keempukan daging dipengaruhi oleh
keadaan ternak saat penyembelihan. Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan
daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis
sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan.
Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan
panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin
atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot, pH juga berpengaruh
terhadap keempukkan.
Berdasarkan hasil praktikum kami, daging ayam bertekstur kenyal dan agak
keras, sedangkan daging kambing, kerbau, dan sapi bertekstur empuk. Tekstur
ayam yang agak keras dapat dimungkinkan karena pada saat rigormortis ayam
terlalu banyak bergerak atau stres, sehingga otot memendek. Ikatan antarfilamen
pun makin banyak sehingga daging ayam alot. Pada ketiga daging lainnya
keempukkan terjadi karena telah memasuki fase pascarigor yaitu proses
pengempukkan kembali dengan adanya pelayuan.
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara
menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik
beku daging. Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian
terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan
tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigormortis.Dalam
kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu
baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan
alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu
dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses tersebut
dinamakan proses aging (pelayuan).
Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba. Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat
dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan
terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar
daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat
ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum
serta cita rasa khas.
Tingkat keasaman tiap daging diukur dengan pH universal, berdasarkan hasil praktikum
daging ayam, kambing,
kerbau memiliki
pH 6 sedangkan sapi lebih asam yaitu pH 5. Nilai
pH otot (daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral).
Setelah hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun
akibat adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan
yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara
bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH
menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem
dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate
pH value) adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah
pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di
bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3
enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja.
(Lukman, 2010).
Daya menahan air (Water
Holding Capacity) didefinisikan sebagai kemampuan
daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan.
Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari
lingkungan yang mengandung cairan. Berdasarkan
hasil praktikum kami, nilai WHC ayam, kambing, kerbau, dan sapi
berturut-turut adalah 29, 45, 38, dan 40%. Nilai tertinggi WHC yaitu daging
kambing dan terendah adalah daging ayam.
Bouton et al. (1971) dan
Wismer-Pedersen (1971) menyatakan bahwa daya ikat air oleh protein daging
dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7 – 10
sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 – 5,1. Pada
pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama
dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal.Dengan demikian pada
saat pH daging diatas atau dibawah titik isolektrik protein-protein daging maka
DMA akan meningkat.
Parameter susut masak yaitu menghitung selisih
antara bobot daging awal dengan akhir yang dibandingkan terhadap bobot awal. Daging
bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan
daging bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan
akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang
berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam
dan di antara otot. Berdasarkan hasil praktikum,
diperoleh %susut masak daging ayam, kambing, kerbau, dan sapi berturut-turut
yaitu 41, 36, 39, dan 25%
Daya ikat air yang rendah akan
mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat dipengaruhi oleh nilai
pH daging. Namun, berdasarkan data hasil praktikum diperoleh korelasi yang
tidak sesuai antara WHC dan susut masak daging karena datanya fluktuatif.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil tersebut yaitu menurut Soeparno (1994)
mengatakan bahwa susut masak dipengaruhi panjang serabut otot. Semakin panjang
serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian
sebaliknya, semakin pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin
besar. Susut masak juga dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.
Pada praktikum kali
ini, praktikan membuat daging kuring dengan menggunakan daging kambing yang
masih memiliki lemak-lemak. Curing
merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam
salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur,
bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya
(Suharyanto, 2008). Proses curing ini membutuhkan garam dalam konsentrasi
tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah garam yang
ditambahkan dalam daging sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti
temperatur dan tingkat keasaman (pH). Kondisi tersebut akan mempengaruhi
keefektifan fungsi garam sehingga tidak ada batasan pasti yang menentukan
konsentrasi garam dalam proses curing (Heni, 2007).
Proses yang dilakukan
meliputi pemisahan daging dengan lemak yang menempel, pencucian daging
menggunakan air mengalir, kemudian daging dibagi menjadi dua potong dengan
ukuran yang sesuai. Dilakukan proses penguringan pada dua potong daging yang
dilakukan secara berbeda. Daging pertama dilakukan menggunakan metode kering
dan daging yang kedua dilakukan dengan menggunakan metode basah. Perbedaan yang
terdapat pada metode ini yaitu metode kering merupakan cara tradisional,
terutama untuk cured-raw meats. Caranya daging diselimuti garam dan disimpan
pada suhu rendah. Garam kemudian akan memasuki jaringan daging. Pada saat yang bersamaan, cairan juga akan
keluar dari dalam daging. Setelah itu
daging yang telah disimpan selama beberapa hari dilakukan pembaluran kembali
agara garam, gula dan nitrit memasuki jaringan daging hingga menyelimuti
keseluruhan daging yang diguakan.
Selanjutnya metode basah prosesnya
sama dengan kering namun tidak adanya perlakuan pembalular kembali serta
metode ini menggunakan air untuk merendam daging yang digunakan.
Proses kuring pada
daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging, menstabilkan
flavor, mengawetkan dan lain-lainnya serta memiliki tiga tujuan utama, yaitu
pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan warna (color). Curing juga bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan daging dan menghambat aktivitas mikroba terutama Clostridium botulinum (Rahmawati, 2011).
Nitrit dapat berubah menjadi nitrit
oksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen
yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu
nitrit oksida dan myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin (NOMb).
Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara
komersial dengan nama sodium nitrite. Untuk metode basah ditambahkan sedikit
air, air selain sebagai carrier, juga
penting untuk mengatur juiceness dari
produk yang dihasilkan (Hendry, 2011).
Daging
yang telah disimpan di suhu rendah selama satu minggu dilakukan pengamatan
secara organoleptik dengan memanggang daging kuring menggunakan oven
selama ±dua jam dengan suhu ±1500C.
Pemanggangan daging dilakukan secara bersama-sama dalam satu loyang. Alasan
daging kuring dimasak dengan cara dipanggang dalam oven karena tekstur daging
kambing yang alot jika dilakukan pemasakan dengan cara digoreng akan
mempersulit proses organoleptik.
Berdasarkan
hasil uji organoleptik yang telah dilakukan pada daging kuring, maka dapat
diketahui warna dari kedua metode tersebut, metode kering menghasilkan warna abu-abu
dengan skala 4 sedangkan metode basah menghasilkan warna merah gelap dengan
skala 3. Warna merah dihasilkan dari senyawa yang digunakan yaitu nitrit.
Penyebab warna merah karena bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit
dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi dengan pigmen daging
(mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah
menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik
kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile
daging.
Pigmen
daging (mioglobin) akan mengalami perubahan warna selama proses curing.
Mioglobin yang bereaksi dengan nitrit oksid akan membentuk nitrit oksid
mioglobin yang berwarna merah cerah. Apabila terjadi pemanasan nitrit oksid
mioglobin akan menjadi nitrosil hemokrom yang berwarna merah muda. Selain itu
mioglobin dengan adanya oksigen akan menjadi oksimioglobin (reaksi tersebut
dapat berlangsung bolak balik). Adanya reduksi dan oksigenasi menyebabkan
oksimioglobin menjadi metmioglobin yang berwarna coklat. Denaturasi
metmioglobin terjadi karena pemanasan metmioglobin. Metmioglobin dapat kembali
membentuk mioglobin karena proses reduksi, begitu pula mioglobin yang
teroksidasi dapat menjadi metmioglobin. Metmioglobin dapat membentuk nitrit
oksid mioglobin karena proses reduksi +NO dan nitrit oksid mioglobin akan
membentuk metmioglobin karena oksidasi oleh oksigen. Reaksi nitrosil hemokrom
dapat membentuk metmioglobin terdenaturasi karena adanya oksidasi. Sebaliknya
metmioglobin terdenaturasi menjadi nitrosil hemokrom karena terjadi reduksi
+NO. Apabila nitrosil hemokrom dan metmioglobin terdenaturasi teroksidasi gugus
porfilinnya maka warna daging akan hijau, kuning atau warna rusak. Daging segar
yang kena udara menunjukkan warna merah mirip oksimioglobin pada permukaan.
Bagian dalam daging, mioglobin berada dalam keadaan tereduksi dan daging
berwarna hijau atau lembayung gelap. Selama ada senyawa yang mereduksi dalam
daging, mioglobin akan tetap berada dalam bentuk tereduksi. Jika senyawa yang
mereduksi habis, warna coklat metmioglobin akan menonjol (Deman, 1979). Salah
satu upaya mempertahankan warna merah daging dilakukan dengan cara curing.
Terjadi
perbedaan warna antara cara kering dengan rendam. Cara rendam menghasilkan
warna merah gelap sedangkan cara kering daging berwarna abu-abu. Hal ini
dikarenakan tingkat kelarutan KNO3 (sendawa) yang tinggi dalam air sehingga
lebih bereaksi pada daging dengan metode rendam serta ketebalan daging dengan
metode kering lebih tebal dibanding dengan rendam sehingga nitrit sukar
menyerap ke dalam daging dan kekurangan nitrit sehingga warna daging metode
kering pucat bisa juga disebabkan
oleh oksidasi kimiawi, misalnya larutan hidrogen peroksida atau karena
aktivitas bakteria (Soeparno, 1994).
Berdasarkan
parameter rasa, metode rendam memiliki rasa yang pas dibandingkan metode
kering. Metode kering memiliki rasa yang sangat asin, hal ini dikarenakan pada
metode kering dilakukan proses pembaluran dua kali sehingga menghasilkan rasa
yang lebih asin dibandingkan metode basah dan kedua daging curing yang tidak
dibilas dengan air terlebih dahulu sebelum dimasak.
Kemudian
dari parameter aroma didapatkan aroma yang seimbang dengan skala yang dimiliki
pada kedua metode tersebut dengan skala 4 yaitu tidak amis. Aroma yang
dihasilkan untuk kedua metode tersebut aroma khas daging yang terbentuk dan
tidak ada bau amis daging kambing sama sekali.
Dari
segi tekstur, hasil uji organoleptik yang diperoleh tekstur daging pada kedua
metode tersebut seimbang dengan skala 3 yaitu agak empuk. Hal ini karena dengan
penggunaan curing seperti sendawa yang
termasuk sebagai bahan tambahan pangan dapat mempengaruhi tekstur daging. Hal
ini sesuai dengan pendapat Putra (2008) yang mengatakan bahwa sendawa mampu
mempertahankan warna, aroma, dan tekstur selama proses pemasakan sehingga
memberikan daya tarik sensorik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Anonim
(2008) yang menyatakan bahwa BTP adalah bahan yang tidak dikonsumsi langsung
sebagai makanan dan tidak merupakan bahan baku pangan, dan penambahannya ke
dalam pangan ditujukan untuk mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk,
tekstur, warna, rasa, keken¬talan, dan aroma, untuk mengawetkan, atau untuk
mempermudah proses pengolahan.
7. Kesimpulan
Kualitas karkas dan daging
dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik atau mineral), dan stress.
Faktor
setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging,
bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak
intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot
daging dan lokasi pada suatu otot daging.
Faktor
kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur,
flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness).
Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat
sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan
pH daging, ikut menentukan kualitas daging.
Intensitas warna merah daging yang
berbeda-beda dipengaruhi oleh mioglobin.
Perbedaan kadar miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies, jenis kelamin,
umur dan aktifitas fisik hewan. Hal ini menjelaskan kenapa daging kerbau lebih
merah dari daging sapi dan daging sapi lebih merah dari daging ayam. Warna
daging juga dipengaruhi oleh kondisi penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan,
serta suhu dan lama waktu penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging.
Penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada
saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak bergerak
pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan
daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung
kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot, pH
juga berpengaruh terhadap keempukkan.
Setelah hewan disembelih (mati),
nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam
laktat. Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di
bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif
berkerja.
Daging juga
mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan. Nilai tertinggi WHC yaitu daging kambing dan terendah adalah
daging ayam.
Daging
bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan
daging bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan
akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang
berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam
dan di antara otot. Susut masak dipengaruhi panjang serabut otot. Semakin
panjang serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian
sebaliknya, semakin pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin
besar. Susut masak juga dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil daging curing yaitu, lamanya penyimpanan; selama
penyimpanan mengakibatkan konsentrasi nitrit semakin menurun, metode yang
digunakan; menurut kami, metode rendam menghasilkan hasil curing yang lebih
baik dengan metode kering, kuantitas sendawa atau konstrasi nitrit; bila jumlah
terlalu banyak dapat menyebabkan daging proses menjadi
berwarna hijau dan disebut “terbakar nitrit”, mungkin karena oksidasi pigmen
daging curing. Sebaliknya kekurangan nitrit dalam curing dapat menyebabkan warna
pucat.
Penggunaan
nitrit sebagai pengawet bertujuan untuk:
1.
Menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen; Nitrit
menghambat produksi toksin Clostridium botulinum dengan menghambat pertumbuhan
dan perkembangan spora atau dengan cara membentuk senyawa penghambat bila
nitrit pada daging dipanaskan. Nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan
Clostridium perferingens dan Staphylococcus aureus pada daging.
2.
Membentuk cita
rasa; Peranan nitrit yang berhubungan dengan cita rasa daging olahan atau
awetan bersifat sebagai antioksidan. Nitrit akan menghambat oksidasi lemak yang
akan membentuk senyawa-senyawa karbonil seperti aldehid, asam-asam dan
keton yang menyebabkan rasa dan bau tengik.
3.
Memberi warna merah muda yang menarik;
Penambahan nitrit pada daging olahan terutama bertujuan untuk memberi warna
merah muda yang menarik. Perubahan warna secara kimia sangat kompleks. Pigmen
dalam otot daging terdiri dari protein yang disebut mioglobin. Mioglobin dengan
oksigen akan membentuk oksimioglobin yang berwarna merah terang.Warna merah
terang dari oksimioglobin tidak stabil,dan dengan oksidasi berlebihan akan
berubah menjadi metmioglobin yang berwarna coklat.Tetapi yang mengalami
penambahan nitrit akan tetap berwarna merah(Winarno, 1980). Menurut Buckle
(1987), mioglobin bereaksi degan nitrogen oksidasi menghasilkan senyawa
nitroso-mioglobin, yang selanjutnya mengalami perubahan oleh panas dan garam
membentuk nitroso-myochromagen yang mempunyai warna merah muda yang relatif
stabil. Pada umumnya proses curing terjadi karena: a. Reaksi biologis yang
dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu mereduksi ferri
menjadi ferro. b. Terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang
di-curing dipanaskan pada suhu 150° F atau lebih, maka terjadi proses
denaturasi. c. Hasil akhir curing daging membentuk pigmen nitrosilmioglobin
bila tidak dimasak, dan nitrosilhemokromogen bila telah dimasak
DAFTAR PUSTAKA
Arianto. 2012.
http://konsultansolokselatan.blogspot.com/2011/12/daging-kuring.html?m=1
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Saragih. 2011. repository.usu.ac.id.
Hendry, N. 2011. Teknologi
Curing. http:// foodreview. biz /preview.
php?view2&id=56560#. UVp_QRcqysQ. Diakses pada tanggal 9 Mei 2015.
Heni. 2007. Teknologi
Pangan. http://ftpunisri.blogspot.com/2007/10/jangan-gunakan-formalin-untuk.html.
Diakses pada tanggal 9 Mei 2015.
Suharyanto. 2008. Pengolahan
Bahan Pangan Hasil Ternak. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Rahmawati, D. 2011. Teknologi
Curing Pada Daging dan Ikan. http://yuphyyehahaa.
blogspot.com/2011/06/teknologi- daging-dan- ikancuring.html. Diakses
pada tanggal 9 Mei 2015.
Putra, R.P., 2008.
Waspadai pembentukan nitrosamin pada daging yang diawetkan dengan sendawa.
http://www.kendariekspress.com. Diakses pada tanggal 9 Mei 2015.
http://eprints.uns.ac.id/6942/1/Unlock-e.pdf
Lampiran
|
|
|
|
0 komentar:
Posting Komentar