CINTA SENDIRI
by : Luneta Aurelia Fatma
Aku memandangi sebuah undangan resepsi pernikahan di
tanganku. Undangan berwarna merah jambu dengan hiasan pita yang manis.
Berkali-kali aku membacanya. Hampir setiap ada waktu luang aku melihatnya. Dan
kini, aku sampai di tempat acara resepsi pernikahan itu dengan gaun yang indah
dan penampilan yang cantik. Namun, tidak secantik
perasaanku saat ini. Aku menarik nafas panjang. Air mata ini mulai mengembang,
bukan hanya sekali atau dua kali tapi sudah sekian kalinya. Aku melihat ke atas
langit malam. Dan, memejamkan mata ini perlahan.
***
Kevin, aku menyebut namanya dalam diam,
dalam kehampaan, dan dalam kekosongan perasaan ini. Sudah tiga tahun
mengenalnya dan sudah dua tahun lamanya memendam perasaan ini. Aku sudah
berusaha keras untuk meluluhkan hatinya. Namun, hatinya benar-benar sangat
beku. Belum mampu aku sentuh, belum mampu aku membuatnya sadar bahwa aku lah
yang sudah menunggunya sejak lama. Namun, semakin aku mendekat, semakin banyak
pula luka yang dia goreskan pada hati kecil ini.
Hujan
turun perlahan di batasan kemarau. Memberikan suasana yang sangat menyenangkan.
Aku berteduh di sebuah halte , dengan seragam putih abu-abu yang sangat basah.
Gigiku bergemeletuk, tubuhku menggigil kedinginan. Andai saja aku membawa
payung. Hari semakin malam, hujan belum juga berhenti. Semakin malam, tubuhku
semakin tidak enak. Angkutan umum
yang ku nanti sangat jarang melewati halte ini. Sekalipun lewat angkutan umum
itu sudah ramai oleh penumpang dari terminal. Dan, kenyataan yang lebih buruk
adalah ponselku mati. Apa yang Tuhan ingin tunjukkan kepadaku?
“Clara?” Sapa seseorang. Aku menoleh, dan
memicingkan mata. Penglihatanku agak buram. “Clara kenapa kamu disini? Kenapa
nggak pulang aja de?” Orang itu duduk disampingku. Aku mengucek mataku perlahan. Dan.....
“Kak Kevin!” Seruku terbelalak. Apakah ini
takdir indah Tuhan yang di maksudkan? Tuhan memang adil.
“Kamu kenapa disini?” Tanya Kevin lembut. Aku
melihatnya, basah kuyup sama sepertiku.
“Aku? Kakak sendiri ngapain disini?” Aku
bertanya balik tanpa menjawab pertanyaannya.
“Kakak habis pulang les, eh hujannya belum
berhenti. Kakak neduh disini dulu soalnya tempat les kakak udah di tutup.”
“Kakak lucu basah gitu.” Aku tertawa kecil.
“Ah kamu juga de.” Kevin ikut tertawa.
“Berantakan gini lagi.” Kevin mengacak-acak rambutku yang basah. Hal yang
sangat jarang aku temui pada sisi Kevin.
“Hehe, biarin aja kak.” Aku menjulurkan
lidahku.
“Eh, badan kamu panas nih. Pulang aja naik
taksi.” Kevin menaruh tangan kanannya di keningku. Aku menggeleng.
“Aku mau disini sama kakak.” Kataku pelan,
nyaris tak terdengar. “Hachiiim”
“Tuhkan tuhkan, pulang sana. Besok kan
sekolah de.”
Aku hanya diam mengabaikan semua perkataan
Kevin. Suasana semakin hening, Di halte hanya ada kami berdua. Aku melihat jam
tanganku. Pukul sepuluh malam. Hujannya awet, dan aku berharap aku bisa bersama
Kevin lebih lama lagi.
“Kak, kenapa sih kakak bersikap cuek sama
cewek?” Tanyaku berusaha mencoba mencari jawaban yang selama ini menjadi beban
perasaanku.
“Kakak mau fokus belajar de.” Jawabnya.
Jawaban yang sangat basi bagiku.
“Kakak mau sukses dulu. Mau membanggakan orangtua. Mau merubah bangsa ini
menjadi lebih baik. Kakak rasa pemikiran remaja penerus seperti kita ini harus
diubah. Pacaran yah? Pacaran hanya membuat perjalanan hidup kakak tidak fokus. Kakak
janji setelah lulus nanti, kakak bakal banyak ada waktu untuk kamu.” Kevin
mengedipkan sebelah matanya. Dengan bibir yang terhias senyum indah.
“Kak...” Aku menarik nafas, Kevin menatapku. “Aku
sayang sama kakak.” Kataku pada akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi, kurasa
ini saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Rasa yang selama ini sudah
terpendam. Jatuh cinta yang selama ini aku rasa dalam diam.
“Kakak juga de, Kakak sayang sama kamu.” Lagi-lagi
Kevin tersenyum. Pernyataannya membuat hatiku tersentak tak percaya.
Mendengar perkataan itu terucap dari mulut
Kevin rasanya seperti mimpi. Entahlah, apa lagi yang harus aku lakukan. Tapi,
segala pertanyaan dalam hatiku sudah terjawab.
***
Semenjak kejadian itu, aku dan Kevin semakin dekat.
Bahkan, banyak yang mengira aku sudah berhasil menjamah hati Kevin. Tapi,
memang benar. Dari sekian banyak gadis yang mendekati Kevin. Hanya aku lah yang
mendapat perlakuan berbeda. Seperti aku orang yang special di mata Kevin. Aku harap begitu.
Tepat hari ini, hari dimana Kevin di wisuda. Kevin
memakai jas hitam dan kemeja berwarna biru. Penampilannya keren, sangat keren
di mataku. Yang membuat aku semakin kagum adalah Kevin berhasil meraih NEM
tertinggi di sekolahku dan mendapatkan SNMPTN jalur Undangan kemudian di terima
di Kedokteran Universitas Indonesia.
“Selamat yaaah kakak ganteng!” Godaku.
“Terima Kasih ya de.” Kevin tersenyum kecil,
wajahnya memerah. “Kamu semangat yah buat sekolahnya.”
“Oke deh kak!” Seruku mantap. “Kan ada kakak
yang bakal nemenin aku belajar. Ya kan ya kan?” Aku mengedip-ngedipkan mataku
genit.
“Maksud kamu?” Tanya Kevin. Wajahku langsung
berubah datar.
“Janji kakak waktu itu. Kakak akan selalu ada
banyak waktu untukku. Kakak ingat?” Tanyaku mencoba mengingatkan.
“De...” Kevin menyentuh pundakku pelan.
“Maafkan kakak ya de. Kakak rasa waktu itu kakak salah ngomong sama kamu. Waktu
itu kakak belum berpikir panjang. Kamu seharusnya ngertiin perasaan kakak untuk
saat ini. Kakak di terima di Universitas Indonesia dan kakak harus belajar
lebih giat lagi agar dapat lulus sebagai lulusan terbaik kedokteran.” Jelas
Kevin. Membuat perasaanku sakit.
“Tap...tapi...” Aku menarik nafas mencoba
mempertahankan air mataku yang akan jatuh.
“Dan kamu harus ngerti juga. Hari ini adalah
hari perpisahan buat kita Ra. Mungkin, setelah ini kakak akan jarang nemuin
kamu dan membalas pesan singkat kamu. Tuhan memberikan takdir yang lain untuk
perkataan kakak waktu itu.”
“Lalu...apakah saat kakak bilang sayang sama
aku juga sebenarnya cuma omong kosong doang?” Tanyaku sambil terus mencoba
mempertahankan air mata yang ingin jatuh.
“Clara, itu...”
“Kakak menyuruh aku ngertiin perasaan kakak
sementara kakak gak ngertiin perasaan aku sama sekali! Kakak tau gak rasanya
nunggu kakak sampai tiga tahun itu rasanya kayak gimana? Rasanya tuh capek.
Capek banget!” Akhirnya butir halus itu jatuh di sudut gelap mataku. Jatuh
perlahan namun semakin deras.
“Clara kakak gak bermaksud...”
“Dan, kakak pun sama sekali gak tau perjuangan
aku mempertahankan perasaanku ini cuma buat kakak. Kakak tega!” Aku menutup
kedua mataku. Kevin terdiam, dia mengernyitkan dahinya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
“Clara kamu itu salah paham.” Kevin mengusap
kepalaku lembut. Aku terisak, dadaku sesak. Sangat sesak.
“Peraih NEM tertinggi di sekolah adalah...
kelas XII IPA 2 Kevin Anggara.” Kepala Sekolah memanggil nama Kevin untuk maju
ke atas panggung.
“Aku harap kamu ngerti Ra.” Kevin
meninggalkanku, dan maju ke atas panggung.
Aku sama sekali tidak mengerti. Apa yang
Kevin inginkan? Apa yang Kevin maksudkan? Pikiranku kosong. Bukankah selama ini
Kevin memang hanya bisa memberiku harapan
palsu? Dan meremukkan perasaanku perlahan-lahan. Membutakan aku. Hingga
hatiku tertutup untuk siapapun.
***
Aku pulang tanpa sepengetahuan Kevin. Rasa
sesak ini masih ada, begitupula dengan rasa perih yang aku rasakan. Sangat
dalam tertancap di relung hatiku. Namun, ternyata Kevin menelponku.
“Hallo Clara.” Sapa Kevin.
“Kenapa?” Tanyaku datar.
“Clara aku mau menjelaskan semuanya. Aku
harap kamu bisa ngerti.” Kata Kevin mencoba menjelaskan.
“Apa? Apa yang harus aku ngertiin kak? Apa?”
Tanyaku kesal.
“Sebelumnya kakak minta maaf kalau kakak
kurang peka terhadap kamu. Dan
sejujurnya kakak baru tau bahwa kata ‘sayang’
yang kamu maksudkan adalah kata sayang yang berbeda dengan pemikiran kakak.
Maaf de, kalo omongan kakak semuanya bullshit
bagi kamu. Tapi, kakak rasa ini hanya soal ke salah pahaman saja de.”
“Apa yang kakak maksud?” Tanyaku bingung.
“Semenjak malam itu, kakak berusaha mengubah
pikiran kamu. Mengubah pikiran kamu agar lebih fokus kedepannya. Kakak yakin
kamu bisa, dan kamu lihat sendiri kan? Kamu yang sama sekali gak masuk ranking
sepuluh besar bisa mendapatkan ranking dua dalam jangka waktu singkat.”
“Jadi kakak deketin aku cuma karena itu?
Bukan karena ada rasa yang lebih?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Clara, aku emang sayang sama kamu. Tapi...”
Kevin berhenti sejenak.
“Tapi apa?” Tanyaku semakin penasaran.
“Tapi apa?” Tanyaku semakin penasaran.
“Tapi cuma sebagai adik. Kakak cuma anak
tunggal, dan kakak sangat antusias ketika melihat kamu yang sangat butuh
dorongan motivasi.” Jelas Kevin.
Seperti ada kilat datang, perasaanku
tercabik-cabik. Rasanya benar-benar sangat sakit. Air mataku mengalir deras.
Aku menangis sesenggukkan. Jadi? Ia
hanya menyayangiku sebagai adik? Jadi selama ini.....
“Clara kamu gak kenapa-kenapa?” Tanya Kevin
saat mendengarku terisak.
Aku hanya diam, mengatur nafasku.
“Gak apa-apa. Kak maaf batre handphone-ku
low. Aku gak bisa lama-lama teleponannya. Makasih kak sudah menjelaskan
semuanya. Sekarang aku ngerti.” Kataku berbohong. Aku menutup telepon. Dan
mematikan ponselku. Kenyataan ini sungguh menyedihkan bagiku. Aku janji mulai
hari ini aku akan pergi dari kehidupan Kevin.
***
Hari
ini aku kembali ke Jakarta. Setelah aku berhasil menjadi lulusan terbaik di
Universitas Gajah Mada jurusan Psikologi dan mencoba bekerja selama lima tahun
di Jogja. Dari semua teman, hanya Renata saja yang masih setia bersamaku. Dia
benar-benar sahabat yang klop untukku. Hari ini aku berjanji bertemu dengannya
di stasiun.
Tiba-tiba, Bruuuk!
Seseorang menumpahkan segelas minuman ke
bajuku.
“Heh, kalo jalan liat....” Aku menatap orang
itu. Hening sesaat.
“Clara? Kamu udah pulang ke Jakarta?” Kata
seseorang, suaranya tak asing.
“Kak Kevin? Kok kakak tau aku ada di luar kota?” Aku berbalik bertanya.
“Apa sih yang aku gak tau dari kamu?” Kevin
tertawa.
Kevin berubah, dia semakin keren dan sangat
terlihat mapan. Aku tidak tau, secara refleks senyumanku terlukis kembali.
Perasaan jatuh cinta itu muncul kembali. Perasaanku tidak bisa berbohong.
“Oh ya de aku punya sesuatu untuk kamu. Aku
selalu simpan ini, siapa tau aja ketemu kamu ternyata benar ketemu kamu hehe.”
Kevin mengambil sesuatu ditasnya.
Sesuatu? Selalu di simpan? Apa itu? Aku
bertanya-tanya dalam hati penasaran.
“Ini!” Kevin memberikan sebuah undangan
berwarna merah jambu dengan hiasan pita.
“Apa ini?” Tanyaku. Undangan pernikahan? Aku
terkejut menemukan nama Kevin dalam undangan itu.
“Dua Minggu lagi aku akan menikah. Aku gak
nyangka bisa ngasih undangan ini ke kamu. Aku kira kita gak akan pernah bertemu
lagi ya.” Kevin tertawa kecil.
“Selamat yah Kak.” Aku mengulurkan tangan
kananku Kevin menjabatnya.
“Iya, dia adalah cinta terakhir kakak de.”
“Aku harap kamu datang de. Aku sangat
berharap.” Kevin tersenyum.
“Insya Allah kak.” Kataku dengan suara
bergetar. Menyembunyikan kegalauan hati ini. Hati yang terluka berulang kali.
***
“Clara!!!” Seru Renata. “Ayo masuk, lo bisa
kok! Lo kuat!” Renata membuyarkan serpihan kenanganku. “Lo udah dateng kesini,
masa lo sia-siain!”
“Maaf Ren, gue rapuh banget.” Aku menghapus
air mataku.
“Udah jangan nangis lagi make up lo pudar tuh. Masa udah cantik muka kayak badut sih! Ayo
masuk cepetan!” Renata menarik tanganku memasuki gedung resepsi pernikahan
Kevin.
Kami sudah telat satu jam, aku melihat Kevin
dengan Violet di pelataran. Kenyataan ini menyakitkan. Hatiku perih.
Aku menjabat tangan gadis yang akan menjadi
pendamping hidup Kevin. Dan, menjabat tangan Kevin. Aku tak sanggup.
“Clara maafkan kakak, andai waktu bisa
terulang. Kakak akan berusaha untuk memahami perasaan kamu lagi dan juga
perasaan kakak. De, setelah kamu pergi jauh. Kakak baru sadar bahwa kamu lah
cinta pertama kakak. Dan bodohnya kakak menyiakan kamu. Seiring berjalannya waktu.
Kamu tak juga kembali, dan semakin menghilang. Maafin kakak ngecewain kamu, ini
takdir Tuhan. Kakak yakin kamu akan mendapatkan yang terbaik. Lebih baik dari
kakak de. Masih banyak yang lebih indah dari cinta de. Bukalah perasaan kamu
de. Jangan sampai kamu menyesal seperti kakak.” Bisik Kevin, membuat perasaanku
semakin sesak.
“Andai waktu bisa terulang. Aku akan berusaha
untuk mencoba mengerti semuanya.”
“Semua terlambat, sekarang Violet adalah
pilihan kakak.” Kevin tersenyum. Namun, senyuman Kevin membuatku menangis. Dan,
Violet menatapku curiga.
“Clara. Ayo...Kita pulang aja.” Ajak Renata.
Aku menurut, dan pergi keluar. Air mataku
sudah penuh menghiasi pipiku. Berulang-ulang jatuh mengalir begitu saja.
“Kevin...Kev...Kevin...” Aku menangis sesenggukkan di pundak Renata..
Mungkin Tuhan punya takdir yang lebih baik
untukku. Walaupun kebahagiaanku selanjutnya tidak bersama Kevin. Tapi, berkat
Kevin. Aku bisa berubah kearah yang lebih positif sejauh ini. Sekarang aku
mengerti.
~THE END~
Note : Mohon untuk tidak mencopast karya asli aku ya baik secara tulisan maupun ide. Thanks ;) Hargai karya orang lain.