Hai...
Aku melihatmu.
Begitu dekat.
Aku mendengar suaramu.
Begitu jelas.
Aku merasakan hadirmu.
Begitu nyata.
Kamu menatapku hangat.
Tersenyum ramah.
Kita saling bertukar cerita.
Kita saling tertawa.
Kita seakan begitu dekat. Memang dekat.
Kamu tersenyum.
Mengatakan bahwa akulah yang kamu harap.
Dalam mimpimu.
Dalam penantianmu.
Aku juga ingin membalas bahwa aku sangat menyayangimu.
Tapi?
Aku tersentak.
Membuka mata.
Mustahil.
Itu bukan kamu.
Itu orang lain.
Bagaikan kamu.
Aku merasa bodoh.
Ketika bersama dia aku merasa itu kamu.
Maka memang benar ini hanya mimpi.
Tapi dia itu nyata.
Benar-benar nyata.
Dengan perasaan sayang yang lebih nyata.
Dengan perjuangan yang nyata.
Dengan pengorbanan yang nyata.
Apakah aku kejam?
Jika aku sayang. Namun sayang yang ku miliki adalah rasa yang aku simpan hanya untuk kamu.
Kamu yang membuang aku.
Kamu yang sakiti aku.
Kamu yang hancurkan aku.
Dia.
Seperti kamu.
Bagaikan duplikat.
Tapi dia tetaplah bukan kamu.
Dan aku begitu bodoh. Masih terpaku menggenggam erat hati yang sudah hancur.
About Me =)
- Luneta Aurelia Fatma
- Hello, terima kasih sudah mau baca. Tulisan ini sebagian besar dari relung hati yang terdalam. Semoga bisa memahami aku melalui tulisan.
Sabtu, 06 Juni 2015
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI PENGOLAHAN PANGAN : Pembuatan Tempe
Laporan Mikrobiologi Pengolahan Pangan : Pembuatan Tempe
Linda Syuhada 2013340022
Theresia Vintania 2013340036
Aprilisa Siwi Lestari 2013340003
Luneta Aurelia Fatma 2013340014
Aji Indra Saputra 2011340010
Jurusan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Sahid Jakarta
2015
Pembuatan Tempe
( 24 Maret 2015 )
Latar Belakang
Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapangRhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus, sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Beberapa fermentasi tersebut secara umum dikenal sebagai ragi tempe. Banyak sekali jamur yang aktif selama fermentasi, tetapi umumnya para peneliti menganggap bahwa Rhizopus sp merupakan jamur yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh.
Jamur Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan tempe. Jamur Rhizopus oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu menghasilkan asam laktat. Jamur Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam amino. Selain itu jamur Rhizopus oryzae mampu menghasilkan protease. Rhizopus oryzae tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga jamur semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur. Pada tempe terdapat jamur Rhizopus oryzae yang mengalami fermentasi. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (sedikit oksigen).
Tujuan Praktikum
Adapun dari praktikum mikrobiologi pengolahan pangan yang dilakukan kali ini ialah bertujuan :
Memahami proses pembuatan pengolahan kacang kedelai khususnya tempe.
Mendeskripsikan langkah-langkah proses pembuatan tempe.
Memahami peranan organisme Rhizopus oryzae yang berperan pada pembuatan tempe.
Teori Singkat
Tempe merupakan makanan yang sangat populer di indonesia. Walaupun tempe merupakan makanan yang sederhana, tetapi tempe mempunyai atau mengandung sumber protein nabati yang cukup tinggi. Tempe adalah makanan yang dibuat melalui proses fermentasi dari biji kedelai atau beberapa bahan lain yang mengandung protein tinggi dengan menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus, sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai ragi tempe.Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur kompak juga disebabkan oleh miselia jamur yang menghubungkan biji-biji kedelai tersebut. Banyak sekali jamur yang aktif selama fermentasi, tetapi umumnya para peneliti menganggap bahwa Rhizopus sp merupakan jamur yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh.
Tempe banyak dikonsumsi di Indonesia, tetapi sekarang telah mendunia. Kaum vegetarian di seluruh dunia banyak yang telah menggunakan tempe sebagai pengganti daging. Akibatnya sekarang tempe diproduksi di banyak tempat di dunia, tidak hanya di Indonesia. Berbagai penelitian di sejumlah negara, seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat. Indonesia juga sekarang berusaha mengembangkan galur (strain) unggul Rhizopus untuk menghasilkan tempe yang lebih cepat, berkualitas, atau memperbaiki kandungan gizi tempe. Beberapa pihak mengkhawatirkan kegiatan ini dapat mengancam keberadaan tempe sebagai bahan pangan milik umum karena galur-ugalur ragi tempe unggul dapat didaftarkan hak patennya sehingga penggunaannya dilindungi undang-undang (memerlukan lisensi dari pemegang hak paten).
Jamur Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan tempe (Soetrisno, 1996). Jamur Rhizopus oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu menghasilkan asam laktat (Purwoko dan Pamudyanti, 2004). Jamur Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam amino (Septiani, 2004). Selain itu jamurRhizopus oryzae mampu menghasilkan protease (Margiono, 1992). Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehinggajamur semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur.
Pada dasarnya proses pembuatan tempe merupakan proses penanaman mikroba jenis jamur Rhizopus sp pada media kedelai, sehingga terjadi proses fermentasi kedelai oleh ragi tersebut. Hasil fermentasi menyebabkan tekstur kedelai menjadi lebih lunak, terurainya protein yang terkandung dalam kedelai menjadi lebih sederhana, sehingga mempunyai daya cerna lebih baik dibandingkan produk pangan dari kedelai yang tidak melalui proses fermentasi.
Tempe terbuat dari kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus sp. Jamur ini akan mengubah protein kompleks kacang kedelai yang sukar dicerna menjadi protein sederhana yang mudah dicerna karena adanya perubahan-perubahankimia pada protein, lemak, dan karbohidrat. Selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe, akan dihasilkan antibiotika yang akan mencegah penyakit perut seperti diare.
Manfaat tempe :
Mengandung serat tinggi.
Mudah dicerna oleh semua kelompok umur, dari bayi sampai usia lanjut.
Pengolahan kedelai menjadi tempe menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yang memicu timbulnya gejala flatulensi
Mengandung delapan macam asam amino esensial dan asam lemak tidak jenuh.
Sumber antioksidan yang mengandung isoflavon aglikon sebagai pencegah kanker.
Sumber antibiotik, zat antibakteri yang memperkecil peluang infeksi.
Hipokolesterolemik, menurunkan lipid atau lemak dalam darah.
Sumber vitamin B.
Mengandung vitamin B12. Vitamin tersebut umumnya terdapat dalam produk hewani tapi tidak dijumpai pada makanan nabati, seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian.
Alat dan Bahan
Alat
Wadah ( bowl )
Panci
Kukusan
Timbangan
Bahan
Tempe 100 gr
Ragi tempe
Plastik
Cara Kerja
Kedelai dicuci bersih kemudian di rendam kurang lebih 24 jam
Rebus kedelai kurang lebih 15 menit, tiriskan
Kupas kulit kedelai yang masih tersisa hingga bersih
Kukus kedelai kurang lebih 10 menit
Timbang kedelai dan timbang juga raginya
Campurkann ragi kedalam kedelai selagi hangat kuku
Masukkan ke dalam plastik yang telah di lubangi. Diamkan dalam suhu ruang kurang lebih 1 – 2 hari
Amati kapang yang terbentuk dalam fermentasi tempe, lalu lakukan organoleptik
Data Hasil Pengamatan
Kel
Kadar Ragi
Pengamatan
Hasil Akhir Tempe
1
0,075% (plastic)
Aroma langu
Miselium yang tumbuh sangat sedikit terlihat
Berwarna coklat
2
0,175% (plastic)
Butir-butir kedelai masih terpisah-pisah
Tekstur tidak kompak
Busuk, bau langu
Warna cokelat
Tidak tumbuh miselium miselium
3
1% ( plastic)
Butir kedelai kompak
Aroma agak langu
Miselium tumbuh merata pada seluruh permukaan
Tekstur agak empuk dan padat
4
0,075% (daun pisang)
Miselium belum tumbuh merata pada permukaan luar
Bagian dalam tidak kompak
Miselium kurang merata pada bagian dalam
Permukaan tempe berwarna putih
-
5
0,175% (daun pisang)
Miselium tidak tumbuh merata
Permukaan luar tempe berwarna putih
Aroma khas tempe
-
6
1% (daun pisang)
Miselium tumbuh merata pada permukaan luar
Tekstur tidak kompak
Bagian dalam tempe miselium belum tumbuh merata
Permukaan tempe berwarna putih
Aroma khas tempe
Tabel Pengamatan Tempe
Berat awal kacang kedelai : 100 gram
Berat akhir kacang kedelai : 176,8 gr
Jumlah ragi yang digunakan : 0,075%
176,38 x 0,075
100
= 0,132
Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
pH
Basah Lembek
Tidak dapat dirasakan
(karena busuk)
Bau Langu
Cokelat
-
Pembahasan
Praktikum mengenai pembuatan tempe dari kedelai yang telah dilakukan oleh praktikan bertujuan memahami proses pembuatan tempe, mendeskripsikan langkah-langkah proses pembuatan tempe, memahami peranan jenis kapang Rhizopus Oryzae dalam peragian, memahami faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya fermentasi dalam pembuatan tempe.
Sebelum di beri perlakuan, biji kedelai di timbang dengan neraca digital sebesar 100 gram kemudian di cuci dan di rendam di dalam air selama satu hari dengan penggantian air rendaman beberapa kali. Tujuan perendaman biji kedelai adalah untuk menghilangkan bau langu pada kedelai. Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5 – 5,3. Penurunan biji kedelai tidak menghambat pertumbuhan jamur tempe, tetapi dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk. Proses fermentasi selama perendaman yang dilakukan bakteri mempunyai arti penting ditinjau dari aspek gizi, apabila asam yang dibentuk dari gula stakhijosa dan rafinosa. Keuntungan lain dari kondisi asam dalam biji adalah menghambat penaikan pH sampai di atas 7,0 karena adanya aktivitas proteolitik jamur dapat membebaskan amonia sehingga dapat meningkatkan pH dalam biji. Pada pH di atas 7,0 dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan atau kematian jamur tempe. Proses hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang dipergunakan makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan pada suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga tidak terbentuk asam.
Setelah di rendam, biji kedelai di rebus untuk menghilangkan bau langu dan untuk mempermudah pelepasan kulit biji kedelai. Proses pemanasan atau perebusan biji setelah perendaman juga bertujuan untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan, mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor, membantu membebaskan senyawa-senyawa dalam biji yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur (Hidayat, dkk. 2006). Biji kedelai yang sudah di rebus kemudian di pisahkan dengan kulitnya. Setelah di pisah dengan kulit, di peroleh berat bersih biji kedelai sebesar yang telah di rebus dan di kupas sebesar 176.8 gram. Kemudian biji kedelai di beri ragi sebanyak 0.75% dari berat bersih biji kedelai. Maka, ragi yang di balurkan pada biji kedelai sebanyak 0.132 gram. Penambahan ragi tersebut bertujuan untuk fermentasi tempe. Jamur Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan tempe. Jamur Rhizopus oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu menghasilkan asam laktat. Jamur Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam amino. Selain itu jamur Rhizopus oryzae mampu menghasilkan protease. Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga jamur semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur. Pada tempe terdapat jamur Rhizopus oryzae yang mengalami fermentasi.
Setelah pemberian ragi, biji kedelai yang sudah di beri ragi di susun di dalam plastik yang sudah di lubangi. Kemudian di inkubasi selama tiga hari pada suhu ruangan. Selama inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-komponen dalam biji kedelai. Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur (Hidayat, dkk. 2006).
Setelah tiga hari, kami melakukan pengamatan di peroleh hasil tempe yang busuk. Teksturnya basah dan lembek, memiliki aroma yang langu, berwarna coklat, dan tidak dapat di rasa karena terjadi pembusukan. Pembusukan ini di sebabkan karena sedikitnya ragi yang di gunakan pada pembuatan tempe dan sudah memasuki fase pembusukan sehingga terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
Kesimpulan
Pada praktikum Pembuatan tempe memanfaatkan jamur Rhizopus oryzae. Sebelum dilakukan proses pembuatan tempe, yangdilakukan pertama perendaman biji kedelai. Tujuan perendaman biji kedelai adalah untuk menghilangkan bau langu pada kedelai. Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5 – 5,3.
Adanya proses hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang dipergunakan maka makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan pada suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga tidak terbentuk asam. Proses pemanasan atau perebusan biji setelah perendaman juga bertujuan untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan, mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor, membantu membebaskan senyawa-senyawa dalam biji yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur
Pembusukan pada tempe di sebabkan karena sedikitnya ragi yang di gunakan pada pembuatan tempe dan sudah memasuki fase pembusukan sehingga terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan tempe ampas tahu antara lain suhu, banyaknya ragi yang diberikan, semakin banyk ragi yang diberikan maka tempe akan cepat jadi, namun akan lebih cepat busuk, kandungan air waktu diperas harus benar-benar berkurang sampai kering, serta kesterilan alat dan bahan.
DAFTAR PUSTAKA
Fardias. 1992.Mikrobiologi Pangan.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
(diakses pada 28 maret 2015)
Muchtadi,T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB Bogor.
Setiadi. 2002. Kepekaan Terhadap Pengolahan Pangan. Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD, Bandung.
Winarno,F.G, dkk. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta.
Wirakartakusumah, dkk. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB Bogor.
Muchtadi,T.R. 1989.Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB Bogor. Setiadi. 2002.
Kepekaan Terhadap Pengolahan Pangan. Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD, Bandung. Winarno,F.G, dkk. 1984.
Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta.
GLOSARIUM
Fermentasi : produksi energi dalam keadaan anaerobik memanfaatkan
Mikroorganisme.
Jamur : tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga bersifat heterotrof.
Kapang : jasad renik yang berbentuk benang multiseluler, tidak berklorofil
dan belum mempunyai deferensiasi dalam jaringan.
Mikroorganisme : organisme kecil (jasad renik)
Toksin : zat yang dibuat oleh organisme hidup yang beracun bagi manusia
Categories
Mikrobiologi Pengolahan Pangan,
Praktek
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI PENGOLAHAN PANGAN : Pembuatan Bekasam
Laporan Mikrobiologi Pengolahan Pangan : Pembuatan Bekasam
Linda Syuhada 2013340022
Theresia Vintania 2013340036
Aprilisa Siwi Lestari 2013340003
Luneta Aurelia Fatma 2013340014
Aji Indra Saputra 2011340010
Jurusan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Sahid Jakarta
2015
Pembuatan Bekasam
( 17 Maret 2015 )
Latar Belakang
Ikan merupakan sumber protein yang sangat potensial dan sangat diperlukan oleh manusia, selain itu protein adalah komponen terbesar setelah air yang terdapat pada daging ikan. Tingginya kandungan protein dan kadar air pada tubuh ikan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikrobia, oleh karena itu ikan adalah komoditi yang mudah rusak atau cepat mengalami kemunduran mutu. Hal inilah yang menyebabkan ikan disebut sebagai perishable food atau bahan makanan yang cepat membusuk (Hadiwiyoto, 1993).
Ikan relatif lebih cepat mengalami pembusukan daripada daging unggas dan mamalia karena pada saat ditangkap ikan selalu berontak sehingga banyak kehilangan glikogen dan glukosa. Glikogen dan glukosa pada hewan yang mati dapat mengalami glikolisis menjadi asam piruvat yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Apabila ikan terlalu banyak berontak pada saat ditangkap maka akan banyak kehilangan glikogen dan glukosa sehingga kandungan asam laktat ikan menjadi rendah.
Dengan demikian nilai pH-nya relatif mendekati normal. Nilai pH yang mendekati normal ini sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri, sehingga ikan segar harus segera diolah dengan baik agar layak untuk dikonsumsi. Pengolahan ikan ini dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimumkan manfaat hasil tangkapan maupun hasil budidaya. Pengolahan ikan meliputi cara meghambat pembusukkan.
Sehingga untuk memperpanjang daya simpan ikan banyak upaya yang dapat dilakukan melalui pengawetan, yaitu dengan cara penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, peragian dan pendinginan ikan baik secara tradisional maupun secara modern. Selain itu terdapat suatu cara yang telah lama digunakan untuk pengawetan ikan yaitu dengan cara fermentasi.
Salah satu contoh produk fermentasi makanan adalah bekasam. Bekasam atau bekasem ikan merupakan ikan awetan yang diolah dengan cara penggaraman dan peragian. Produk ikan awetan ini banyak dikenal di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, sedang di daerah Kalimantan Tengah lebih dikenal dengan nama wadi. Jenis ikan yang biasa dipakai dalam pembuatan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, tawes, gabus, nila dan mujair.
Tujuan Praktikum
Adapun dari praktikum mikrobiologi pengolahan pangan yang dilakukan kali ini ialah bertujuan :
Agar mahasiswa mengetahui pengawetan dari produk fermentasi bekasam.
Agar mahasiswa mengetahui perubahan kimia yang terjadi didalam olahan bekasam.
Agar mahasiswa mengetahui mikroba yang berperan di dalam fermentasi bekasam.
Agar mahasiswa memiliki ketrampilan dalam proses pembuatan bekasam.
Teori Singkat
Fermentasi bahan pangan adalah sebagai hasil kegiatan beberapa jenis mikroorganisme diantara beribu-ribu jenis bakteri (Buckle, et al., 1987. Ditambahkan oleh Afrianto dan Liviawaty (2005), pada dasarnya fermentasi adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa yang lebih sederhana enzim atau fermen yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorrganisme, dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000, fermentasi adalah proses penguraian daging yang dilakukan oleh enzim yang memberikan hasil yang meguntungkan. Proses fermentasi serupa dengan pembusukan, tetapi fermentasi menghasilkan zat-zat yang memberikan hasil rasa dan aroma yang spesifik dan disukai orang.
Ikan Mujair merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak ditangkap di daerah perairan umum, kolam, sawah dan tambak serta biasanya dikonsumsi dalam bentuk segar, asin dan kering. Oleh karena bentuk olahan tersebut mempunyai masa simpan yang relatif pendek, maka pemasarannya terbatas pada daya awet dari olahan tersebut, disamping itu ikan cepat mengalami pembusukan dan tidak bertahan lama, maka perlu dilakukan pengolahan ikan yang lebih baik, salah satu alternatif pemecahan diatas adalah pengolahan dengan fermentasi sehingga dihasilkan produk yang mempunyai daya awet lama dan disukai konsumen.
Bekasam merupakan produk olahan ikan dengan cara fermentasi menggunakan bakteri asam laktat dan kadar garam tinggi. Bekasam merupakan makanan khas Kalimantan Tengah yang bahan fermentasi pembuatan bekasam ialah samu (Riza, 2008). Bekasam memiliki komposisi gizi yang cukup baik dan dikonsumsi sebagai pelengkap lauk pauk. Sayangnya, bekasam belum cukup dikenal sebagai produk fermentasi komersial seperti kecap ikan atau peda. Rasa bekasam yang asam dan asin membuat produk ini memiliki cita rasa khas yang tidak dimiliki oleh produk olahan lainnya. Pembuatan bekasam dapat dijadikan salah satu alternatif pengolahan bahan pangan sehingga umur simpan bahan pangan dapat lebih lama. Bekasam yang telah digoreng dan dibumbui dapat memiliki umur simpan yang relatif lama dalam suhu kamar. Dengan cara pengolahan dan penyimpanan yang baik, bekasam dapat disimpan berbulan-bulan tanpa mengalami banyak penurunan mutu (Setiadi, 2001).
Pada dasarnya prinsip pembuatan bekasam ada 3 tahap yaitu :
Proses penggaraman
Bertujuan untuk mencegah terjadinya pembentukan amoniak dari senyawa nitrogen dan berperan dalam menyeleksi mikroba sehingga pembusukan dapat diminimalisir dan daya simpan produk lebih panjang. Seleksi mikroba berperan dalam menghambat bakteri pembusuk, namun mendukung pertumbuhan dan aktifitas bakteri fermentasi yang bersifat halofilik (suka garam) atau halotoleran (tahan garam)
Penambahan karbohidrat
Bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktak yang berperan dalam menguraikan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa sederhana yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionta dan etil alkohol. Senyawa-senyawa tersebut berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada bekasam. Sumber karbohidrat yang umum digunakan adalah nasi, kerak nasi, beras sangrai, dan tapai beras.
Proses fermentasi
Bertujuan sebagai proses pemecahaan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik. Polisakarida lebih dahulu dipecah menjadi gula sederhana sebelum dimanfaatkan dalam fermentasi. Proses fermentasi glukosa terdiri dari 2 tahap yaitu pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dilanjutkan tahap perubahan asam piruvat menjadi produk akhir yang spesifik, misalnya asam laktat, etanol, asam asetat, asam format, dan sebagainya. Degradasi protein secara anaerobik dilakukan oleh enzim proteolitik. Protein yang terhidrolisis menjadi asam amino dan peptida akan terurai menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk dan digunakan sebagai sumber energi dan karbon oleh mikroorganisme anaerob. Mikroorganisme yang berperan dalam produk fermentasi bekasam, diantaranya pediococcus cereviceae, pediococcus halophilus, pediococcus pentosaceus, lactococcus garvieae, lactobacillus plantarum, streptococcus bovis, staphylococcus epidermidis, weisella cibaria, micrococcus sp dan bacillus sp.
Alat dan Bahan
Alat – alat
Pembuatan bekasam
Timbangan Analitik : untuk menimbang berat ikan,nasi, dan garam
yang dibutuhkan.
Toples atau Plastik : sebagai tempat untuk proses fermentasi dalam
pembutan bekasam.
Pisau : untuk memotong dan membersihkan ikan.
Talenan : sebagai tempat memotong ikan.
Sendok : untuk mencampur bahan bahan supaya merata.
Baskom saringan : untuk meletakan ikan segar yang diberi garam.
Penelitian TPC (Total Plate Count)
Bunsen : sebagai media pemanas untuk kerja aseptik.
Cawan petri : untuk tempat media padat dan sampel.
Autoclave : untuk sterilisasi media.
Oven : untuk sterilisasi cawan petri.
Inkubator : untuk tempat melakukan inkubasi.
Ose atau sengkelit : sebagai alat untuk menanam bakteri.
Erlenmeyer 250 ml : untuk tempat media cair.
Rak tabung reaksi : untuk tempat meletakan tabung reaksi.
Tabung reaksi : untuk media pengencer NaCl.
Timbangan digital : untuk menimbang sampel dan media yang akan
digunakan.
Bahan
Pembuatan bekasam
Ikan mujair
Garam
Cuka
Nasi atau beras sangrai
Bawang merah
Bawang putih
Cabai
Daun pisang
Air bersih
Penelitian TPC (Total Plate Count)
Alkohol
Aquadest
Media PCA
Media Na
Larutan pengencer NaCl
Kertas label
Penutup erlenmeyer dan tabung reaksi
Cara Kerja
Proses pembuatan bekasam
Disiapkan ikan mujair yang akan dibuat produk bekasam,
Membersihkan ikan dengan air bersih. (buang sisik,dan isi perut),
Timbang berat ikan yang sudah bersih tersebut,
Kemudian timbang garam 10-15 % dari berat ikan,
Lalu taburkan garam yang sudah ditimbang ke ikan didiamkan pada suhu ruang selama 24 jam,
Ikan ditiriskan dan ditambah beras sangrai yang sudah disemi haluskan, garam, cuka, sebanyak masing-masing 25% dari bobot ikan,
Selanjutnya tambahkan pula bawang merah, bawang putih, serta cabai secukupnya,
Setelah itu campuran ikan dengan beras sangrai, garam, cuka, serta bawang merah, bawang putih dan cabai ditempatkan dalam wadah plastik atau toples, kemudian ditutup rapat agar tidak ada udara yang masuk,
Kemudian campuran tersebut di peram selama 1-2 minggu agar terjadi proses feremntasi.
Sumber : Yahya et al., 1997
Proses pengenceran dan penanaman dalam media
Timbang media yang akan digunakan seperti PCA dan NA serta NaCl yang nantinya akan digunakan sebagai larutan pengencer,
Kemudian larutkan media tersebut dengan aquadest sesuai volume yang diinginkan,
Sebelum media digunakan lakukan sterilisasi terlebih dahulu dalam autoclave,
Baru setelah itu media dapat digunakan,
Untuk media PCA dan NA dimasukkan dalam cawan petri steril secara aseptik,
Kemudian setelah itu didiamkan agar media menjadi padat,
Sementara untuk NaCl dipipet dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril secara aseptik,
Selanjutnya ambil 1 gram sampel ikan bekasam menggunakan ose atau sengkelit dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl tadi,
Kemudian larutan pengencer yang sudah bercampur sampel dihomogenkan dengan cara di kocok perlahan,
Lalu secara aseptik ambil sampel yang ada di dalam larutan pengencer dengan menggunakan ose atau sengkelit dan ditanamkan ke media PCA dan NA yang sudah memadat.
Proses penanaman dengan cara metode gores kuadran, kemudian setelah selesai lakukan inkubasi di dalam inkubator dengan suhu 370 C selama 48 jam.
Proses penghitungan jumlah koloni
Cara menghitung koloni pada media PCA dan NA adalah sebagai berikut :
Cawan yang dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 25-250 bila dilakukan simplo dan < 250 bila dilakukan duplo.
Beberapa koloni yang tergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan,dapat dihitung sebagai satu koloni.
Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai garis tebal dihitung satu koloni.
Faktor pengenceran :
Koloni per ml :
D ata Hasil Pengamatan
Ikan yang digarami dan didiamkan pada suhu kamar selama 24 jam
Bahan-bahan bumbu dan ikan untuk membuat bekasam
Ikan yang sudah dibalurin garam, beras sangrai, cuka, bawang putih dan cabai
Hasil ikan bekasam yang sudah didiamkan selama 1 minggu
Ikan bekasam yang sudah di goreng
Media untuk TPC (Total Plate Count) Hasil uji TPC pada ikan bekasam
Tabel Pengamatan Bekasam Ikan Mujair
Berat ikan sebelum digarami : 100 gram
Berat garam (10-15% dari berat ikan) : 12 gram
Berat ikan yang sudah digarami : 86 gram
Berat garam (25 % dari berat ikan) : 22 gram
Berat cuka (25 % dari berat ikan) : 22 gram
Berat beras sangrai (25 % dari berat ikan) : 22 gram
Cabai rawit merah : 5 buah
Bawang putih : 1 buah
Hasil pengamatan cek pH : 6 (enam) à asam mendekati netral
Nama Panelis
Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
Kelompok 2
3
3
3
3
Kelompok 3
2
3
3
3
Kelompok 4
2
3
3
3
Kelompok 5
2
3
3
3
Kelompok 6
2
3
3
3
Keterangan Penilaian
1 = lembek
2 = lembut
3 = agak keras
4 = keras
1 = hambar
2 = sedikit asin
3 = asin
4 = sangat asin
1 = tidak kuat
2 = sedikit kuat
3 = kuat/harum
4 = sangat kuat
1 = putih
2 = kuning
3 = kuning coklat
4 = coklat
Tabel Presentase Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur, Rasa, Aroma, Warna
Skor Penilaian
Presentase Tingkat Kesukaan (%)
Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
1
0
0
0
0
2
80
0
0
0
3
20
100
100
100
4
0
0
0
0
Pehitungannya
Tabel Perhitungan media dan hasil pengamatan TPC
Media
Perhitungan
Pengamatan
PCA
25 ml x 2 x 6 klmpk x 23,5 gr/1000 = 7,05 gr
TBUD
NA
25 ml x 2 x 6 klmpk x 8 gr/1000 = 2,4 gr
TBUD
NaCl
0,85/100 x 9 ml x 6 klmpk = 0,459 gr
-
Pembahasan
Ikan relatif lebih cepat mengalami pembusukan daripada daging unggas dan mamalia karena pada saat ditangkap ikan selalu berontak sehingga banyak kehilangan glikogen dan glukosa. Glikogen dan glukosa pada hewan yang mati dapat mengalami glikolisis menjadi asam piruvat yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Apabila ikan terlalu banyak berontak pada saat ditangkap maka akan banyak kehilangan glikogen dan glukosa sehingga kandungan asam laktat ikan menjadi rendah.
Sehingga untuk memperpanjang daya simpan ikan banyak upaya yang dapat dilakukan melalui pengawetan, yaitu dengan cara penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, peragian dan pendinginan ikan baik secara tradisional maupun secara modern. Selain itu terdapat suatu cara yang telah lama digunakan untuk pengawetan ikan yaitu dengan cara fermentasi.
Salah satu contoh produk fermentasi makanan adalah bekasam. Bekasam atau bekasem ikan merupakan ikan awetan yang diolah dengan cara penggaraman. Produk ikan awetan ini banyak dikenal di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, sedang di daerah Kalimantan Tengah lebih dikenal dengan nama wadi. Jenis ikan yang biasa dipakai dalam pembuatan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, tawes, gabus, nila dan mujair.
Pada dasarnya prinsip pembuatan bekasam ada 3 tahap yaitu :
Proses penggaraman
Bertujuan untuk mencegah terjadinya pembentukan amoniak dari senyawa nitrogen dan berperan dalam menyeleksi mikroba sehingga pembusukan dapat diminimalisir dan daya simpan produk lebih panjang. Seleksi mikroba berperan dalam menghambat bakteri pembusuk, namun mendukung pertumbuhan dan aktifitas bakteri fermentasi yang bersifat halofilik (suka garam) atau halotoleran (tahan garam)
Penambahan karbohidrat
Bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktak yang berperan dalam menguraikan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa sederhana yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionta dan etil alkohol. Senyawa-senyawa tersebut berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada bekasam. Sumber karbohidrat yang umum digunakan adalah nasi, kerak nasi, beras sangrai, dan tapai beras.
Proses fermentasi
Bertujuan sebagai proses pemecahaan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik. Polisakarida lebih dahulu dipecah menjadi gula sederhana sebelum dimanfaatkan dalam fermentasi. Proses fermentasi glukosa terdiri dari 2 tahap yaitu pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dilanjutkan tahap perubahan asam piruvat menjadi produk akhir yang spesifik, misalnya asam laktat, etanol, asam asetat, asam format, dan sebagainya. Degradasi protein secara anaerobik dilakukan oleh enzim proteolitik. Protein yang terhidrolisis menjadi asam amino dan peptida akan terurai menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk dan digunakan sebagai sumber energi dan karbon oleh mikroorganisme anaerob. Mikroorganisme yang berperan dalam produk fermentasi bekasam, diantaranya pediococcus cereviceae, pediococcus halophilus, pediococcus pentosaceus, lactococcus garvieae, lactobacillus plantarum, streptococcus bovis, staphylococcus epidermidis, weisella cibaria, micrococcus sp dan bacillus sp.
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui pengawetan dari produk fermantasi bekasam dan mengetahui perubahan kimia yang terjadi dan mikrobia yang berperan dalam proses fermentasi bekasam serta agar mahasiswa memiliki ketrampilan dalam proses pembuatan bekasam.
Praktikum fementasi bekasam dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pangan Universitas Sahid Jakarta. Untuk rangkaian prosedurnya dimulai pada hari Selasa 17 maret 2015 pukul 10.00 WIB - selesai untuk perlakuan pembuatan bekasam hingga produk disimpan dalam toples pada kondisi anaerob. Selanjutnya dilakukan tes pH, uji organoleptik yang meliputi uji tekstur,rasa, aroma dan warna dilakukan pada hari selasa 24 maret 2015. Setelah dilakukan tes pH dan pengujian organoleptik selesai, pada hari yang sama dilakukan proses pengenceran sampel dan penanaman pada media PCA dan NA untuk mengetahui jumlah mikroba yang tumbuh pada sampel. Selanjutnya pada hari Jumat, 27 maret 2015 dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri yang tumbuh dalam 1 gram sampel ikan bekasam.
Sebelum dilakukannya pengujian organoleptik, kami mengadakan tes pH ikan bekasam terlebih dahulu
Dari data diatas dapat diketahui bahwa pada presentase 100% garam, beras sangrai serta cuka yang mengasilkan ikan bekasam dengan pH terendah (pH 4,5) adalah ikan bekasam yang dibuat oleh kelompok 3 dan 6. Hal ini bisa dikarenakan jenis ikan dan berat ikan yang digunakan antara kedua kelompok sama dan mendekati sehingga bisa menghasilkan pH yang sama, selain itu sifat cuka yang memang asam kemudian konsentrasi yang terlalu besar yaitu 100 %. Lalu pada presentase 50 % garam, beras sangrai, serta cuka yang menghasilkan ikan bekasam dengan pH diantara pH 4 dan 5 adalah ikan bekasam kelompok 2 dan 5. Hal ini dikarenakan kemungkinan pada saat melakukan praktikum berat dan jenis ikan berbeda sehingga menghasilkan pH yang berbeda pula pada konsentrasi yang sama. Sedangkan pada presentase 25 % garam, beras sangrai serta cuka yang menghasilkan ikan bekasam dengan pH tertinggi (pH 6) adalah ikan bekasam yang dibuat oleh kelompok 1 dan 4. Hal ini dikarenakan jenis ikan dan berat ikan yang sama dan mendekati sehingga bisa menghasilkan pH yang sama. Selain itu dapat dikatakan nilai pH-nya relatif mendekati normal. Nilai pH yang mendekati normal ini sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri, sehingga ikan segar harus segera diolah dengan baik agar layak untuk dikonsumsi. Pengolahan ikan ini dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimumkan manfaat hasil tangkapan maupun hasil budidaya.
Hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sebelum dimasak dilakukan dengan menilai 3 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, aroma serta warna. Untuk penilaian tekstur sebelum dimasak ialah agak keras, kemudian penilaian aroma ikan sebelum dimasak ialah seperti ikan pepes tetapi tidak menyengat, dan selanjutnya penilaian warna ikan sebelum dimasak ialah warna ikan tetap tetapi warna beras menjadi kekuningan. Hal ini dikarenakan penggunaan ikan mujair yang masih segar sebagai bahan pembuatan bekasam.
Sementara hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sudah digoreng dilakukan dengan menilai 4 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, rasa, aroma serta warna dari produk fermentasi hasil perikanan yang berupa bekasam ikan mujair.
Tekstur
Tekstur adalah sifat bahan yang dapat diterima dengan indera peraba. Uji organoleptik dengan parameter tekstur produk ikan bekasam yang sudah dimasak menunjukkan 80 % panelis mengatakan tekstur lembut. Hal ini terjadi karena berkurangnya kadar air pada bahan yang tertarik keluar dengan adanya penambahan garam sebanyak 25 % dari berat ikan.
Rasa
Rasa adalah penilaian yang menggunakan indera cecapan, khususnya mulut. Uji organoleptik dengan parameter rasa produk ikan bekasam yang sudah dimasak menunjukkan 100 % panelis mengatakan rasa ikan bekasam ini adalah asin. Hal ini bisa jadi dikarenakan penambahan garam yang terlalu banyak yaitu 25 % dari berat ikan.
Warna
Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa factor diantaranya cita rasa, warna, tektur dan nilai gizinya; disamping itu ada faktor lain misalnya sifat mikrobiologis (Winarno, 1999). Faktor-faktor di atas dapat mempunyai bobot yang berbeda, bergantung dari produk yang diuji namun salah satu faktor terpenting penilaian sensorik makanan adalah warna, karena faktor warna secara visual tampil terlebih dahulu dan sangat menentukan (Fennema, 1985). Hasil pengamatan parameter warna menunjukkan 100 % panelis mengatakan warna ikan bekasam yang sudah dimasak adalah kuning kecoklatan. Hal ini sangat dimungkinkan akibat penggunaan ikan mujair yang segar sebagai bahan pembuatan bekasam.
Bau
Bau merupakan salah satu komponen dari cita rasa bahan pangan dan telah menjadi penentu kelezatan suatu bahan makanan. Tidak seperti indra cecapan, indra pencium tidak tergantung pada penglihatan, pendengaran ataupun sentuhan (Winarno, 1991). Bekasam ikan mempunyai bau yang khas yang merupakan ciri khusus dari produk-produk fermentasi (Tedja dan Nur, 1979). Pada hasil pengujian organoleptik dengan parameter bau, aroma yang tercium ikan bekasam yang sudah dimasak teridentifikasi sebagai aroma harum bumbu. Ini terbukti dengan hasil uji 100 % panelis yang ada mengatakan bahwa ikan bekasam kelompok kami beraroma harum bumbu. Pada umumnya aroma produk fermentasi memiliki cita rasa khas apabila yang diolah ialah ikan segar dan memenuhi standar pengolahan yang baik. Winarno, (1991) menyatakan bahwa pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Bau asam dapat diakibatkan oleh turunnya pH sebuah makanan atau terurainya senyawa-senyawa pada makanan menjadi senyawa yang volatile. Namun karena produk ikan kami memiliki pH tidak terlalu asam bahkan mendekati netral maka tidak menimbulkan bau asam.
Jumlah koloni bakteri yang terdapat pada produk bekasam juga turut mempengaruhi kualitas bekasam yang dihasilkan. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan ternyata ikan bekasam kelompok kami ditemukan adanya bakteri yang tumbuh, tetapi tidak dapat dihitung sesuai aturan perhitungan TPC. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok kami hasilnya TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung). Hal ini dimungkinkan terjadi karena ose atau sengkelit yang kurang steril, kemudian saat mengambil sampel yang kurang steril dan pengerjaan yang dilakukan dibawah AC, sehingga kontaminan dapat tumbuh dan pertumbuhannya menyebar.
Kesimpulan
Bekasam atau bekasem ikan merupakan ikan awetan yang diolah dengan cara penggaraman. Produk ikan awetan ini banyak dikenal di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, sedang di daerah Kalimantan Tengah lebih dikenal dengan nama wadi. Jenis ikan yang biasa dipakai dalam pembuatan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, tawes, gabus, nila dan mujair.
Pada dasarnya prinsip pembuatan bekasam ada 3 tahap yaitu : proses penggaraman, penambahan karbohidrat dan proses fermentasi. Proses fermentasi pada Bekasam ikan, yaitu dilakukan bersamaan dengan proses fermentasi nasi (karbohidrat). Dalam hal ini nasi sengaja ditambahkan ke dalam toples dan ikan untuk digunakan sebagai sumber energi oleh mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi daging ikan.
Hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sebelum dimasak dilakukan dengan menilai 3 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, aroma serta warna. Untuk penilaian tekstur sebelum dimasak ialah agak keras, kemudian penilaian aroma ikan sebelum dimasak ialah seperti ikan pepes tetapi tidak menyengat, dan selanjutnya penilaian warna ikan sebelum dimasak ialah warna ikan tetap tetapi warna beras menjadi kekuningan. Hal ini dikarenakan penggunaan ikan mujair yang masih segar sebagai bahan pembuatan bekasam.
Sementara hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sudah digoreng dilakukan dengan menilai 4 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, rasa, aroma serta warna dari produk fermentasi hasil perikanan yang berupa bekasam ikan mujair. Untuk tekstur 80 % memilih lembut, lalu untuk rasa 100 % memilih asin, selanjutnya untuk aroma 100 % memilih aroma harum bumbu, dan untuk warna 100 % memilih kuning kecoklatan.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan ternyata ikan bekasam kelompok kami ditemukan adanya bakteri yang tumbuh, tetapi tidak dapat dihitung sesuai aturan perhitungan TPC. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok kami hasilnya TBUD.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Buckle, K.A ; R.A. Edwardrs; G.H.Fleet and M.Wolfon.1987. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Murniyati, A.S. dan Sunarman. 2000. Pendinginan pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius Yogyakarta.
Natalia, Aulia Sari Setiadi. 2001. Mempelajari Penggunaan Cairan Pikel Ketimun Sebagai Sumber Bakteri Asam Laktat Pada Pembuatan Bekasam Ikan Tawes (Puntius javanicus). Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultaas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Riza, F. 2008. Analisis Deskriptif Bekasam Ikan Kembung dengan penggunaan Samu dan Samu Ketan Putih. Jurusan teknologi Industri Fakulatas Teknik. Universitas Negeri Malang.
Setiadi, N. 2001. Mempelajari Penggunaan Cairan Pikel Ketimun sebagai Sumber Bakteri Asam laktat pada Pembuatan Bekasam Ikan Tawes (Puntius javanicus) . fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ITB. Bogor.
Tedja, T Dan A. Nur. 1979. Mempelajari Pengaruh Bakteri Asam Laktat Pada Fermentasi Ikan Bergaram. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Balai Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta
Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta.
Yahya, Djoko Wibowo, Purnomo Darmadji. 1997. Karakteristik Bakteri Asam Laktat Dan Perubahan Kimia Pada Fermentasi “Bekasam” Ikan Mujair (Tilapia Mossambica). Program Studi Ilmu Dan Teknologi Pangan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.
Zulnaidi, 2007. Metode Penelitian. Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra. Universitas Sumatera Utara. Medan.
GLOSARIUM
Anaerobik = keadaan dimana kadar oksigen yang dibutuhkan terbatas atau
sedikit.
Aseptik = Bebas dari mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi
atau kontaminasi.
Autoclave = Alat untuk sterilisasi basah dengan prinsip menggunakan
tekanan uap air panas.
Fermentasi = produksi energi dalam keadaan anaerobik memanfaatkan
Mikroorganisme.
Inkubasi = proses memelihara kultur bakteri dalam suhu tertentu selama
jangka waktu tertentu untuk memantau pertumbuhan bakteri.
Koloni = Pertumbuhan mikroorganisme pada medium kultur padat yang
dapat dilihat dengan mata (secara makrokopik).
Kontaminasi = Masuknya organime yang tidak diinginkan ke dalam suatu
objek atau bahan.
Medium = Komponen yang digunakan untuk mensuplai nutrien untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme.
Mikroorganisme = Suatu bentuk kehidupan yang berukuran mikroskopik.
Oven = Alat untuk sterilisasi kering dengan prinsip tidak menggunakan
tekanan melainkan menggunakan udara kering.
Total Plate Count = Metode yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah
mikroba di dalam bahan pangan.
Steril = Bebas dari organisme hidup
( 17 Maret 2015 )
Latar Belakang
Ikan merupakan sumber protein yang sangat potensial dan sangat diperlukan oleh manusia, selain itu protein adalah komponen terbesar setelah air yang terdapat pada daging ikan. Tingginya kandungan protein dan kadar air pada tubuh ikan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikrobia, oleh karena itu ikan adalah komoditi yang mudah rusak atau cepat mengalami kemunduran mutu. Hal inilah yang menyebabkan ikan disebut sebagai perishable food atau bahan makanan yang cepat membusuk (Hadiwiyoto, 1993).
Ikan relatif lebih cepat mengalami pembusukan daripada daging unggas dan mamalia karena pada saat ditangkap ikan selalu berontak sehingga banyak kehilangan glikogen dan glukosa. Glikogen dan glukosa pada hewan yang mati dapat mengalami glikolisis menjadi asam piruvat yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Apabila ikan terlalu banyak berontak pada saat ditangkap maka akan banyak kehilangan glikogen dan glukosa sehingga kandungan asam laktat ikan menjadi rendah.
Dengan demikian nilai pH-nya relatif mendekati normal. Nilai pH yang mendekati normal ini sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri, sehingga ikan segar harus segera diolah dengan baik agar layak untuk dikonsumsi. Pengolahan ikan ini dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimumkan manfaat hasil tangkapan maupun hasil budidaya. Pengolahan ikan meliputi cara meghambat pembusukkan.
Sehingga untuk memperpanjang daya simpan ikan banyak upaya yang dapat dilakukan melalui pengawetan, yaitu dengan cara penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, peragian dan pendinginan ikan baik secara tradisional maupun secara modern. Selain itu terdapat suatu cara yang telah lama digunakan untuk pengawetan ikan yaitu dengan cara fermentasi.
Salah satu contoh produk fermentasi makanan adalah bekasam. Bekasam atau bekasem ikan merupakan ikan awetan yang diolah dengan cara penggaraman dan peragian. Produk ikan awetan ini banyak dikenal di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, sedang di daerah Kalimantan Tengah lebih dikenal dengan nama wadi. Jenis ikan yang biasa dipakai dalam pembuatan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, tawes, gabus, nila dan mujair.
Tujuan Praktikum
Adapun dari praktikum mikrobiologi pengolahan pangan yang dilakukan kali ini ialah bertujuan :
Agar mahasiswa mengetahui pengawetan dari produk fermentasi bekasam.
Agar mahasiswa mengetahui perubahan kimia yang terjadi didalam olahan bekasam.
Agar mahasiswa mengetahui mikroba yang berperan di dalam fermentasi bekasam.
Agar mahasiswa memiliki ketrampilan dalam proses pembuatan bekasam.
Teori Singkat
Fermentasi bahan pangan adalah sebagai hasil kegiatan beberapa jenis mikroorganisme diantara beribu-ribu jenis bakteri (Buckle, et al., 1987. Ditambahkan oleh Afrianto dan Liviawaty (2005), pada dasarnya fermentasi adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa yang lebih sederhana enzim atau fermen yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorrganisme, dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000, fermentasi adalah proses penguraian daging yang dilakukan oleh enzim yang memberikan hasil yang meguntungkan. Proses fermentasi serupa dengan pembusukan, tetapi fermentasi menghasilkan zat-zat yang memberikan hasil rasa dan aroma yang spesifik dan disukai orang.
Ikan Mujair merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak ditangkap di daerah perairan umum, kolam, sawah dan tambak serta biasanya dikonsumsi dalam bentuk segar, asin dan kering. Oleh karena bentuk olahan tersebut mempunyai masa simpan yang relatif pendek, maka pemasarannya terbatas pada daya awet dari olahan tersebut, disamping itu ikan cepat mengalami pembusukan dan tidak bertahan lama, maka perlu dilakukan pengolahan ikan yang lebih baik, salah satu alternatif pemecahan diatas adalah pengolahan dengan fermentasi sehingga dihasilkan produk yang mempunyai daya awet lama dan disukai konsumen.
Bekasam merupakan produk olahan ikan dengan cara fermentasi menggunakan bakteri asam laktat dan kadar garam tinggi. Bekasam merupakan makanan khas Kalimantan Tengah yang bahan fermentasi pembuatan bekasam ialah samu (Riza, 2008). Bekasam memiliki komposisi gizi yang cukup baik dan dikonsumsi sebagai pelengkap lauk pauk. Sayangnya, bekasam belum cukup dikenal sebagai produk fermentasi komersial seperti kecap ikan atau peda. Rasa bekasam yang asam dan asin membuat produk ini memiliki cita rasa khas yang tidak dimiliki oleh produk olahan lainnya. Pembuatan bekasam dapat dijadikan salah satu alternatif pengolahan bahan pangan sehingga umur simpan bahan pangan dapat lebih lama. Bekasam yang telah digoreng dan dibumbui dapat memiliki umur simpan yang relatif lama dalam suhu kamar. Dengan cara pengolahan dan penyimpanan yang baik, bekasam dapat disimpan berbulan-bulan tanpa mengalami banyak penurunan mutu (Setiadi, 2001).
Pada dasarnya prinsip pembuatan bekasam ada 3 tahap yaitu :
Proses penggaraman
Bertujuan untuk mencegah terjadinya pembentukan amoniak dari senyawa nitrogen dan berperan dalam menyeleksi mikroba sehingga pembusukan dapat diminimalisir dan daya simpan produk lebih panjang. Seleksi mikroba berperan dalam menghambat bakteri pembusuk, namun mendukung pertumbuhan dan aktifitas bakteri fermentasi yang bersifat halofilik (suka garam) atau halotoleran (tahan garam)
Penambahan karbohidrat
Bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktak yang berperan dalam menguraikan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa sederhana yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionta dan etil alkohol. Senyawa-senyawa tersebut berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada bekasam. Sumber karbohidrat yang umum digunakan adalah nasi, kerak nasi, beras sangrai, dan tapai beras.
Proses fermentasi
Bertujuan sebagai proses pemecahaan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik. Polisakarida lebih dahulu dipecah menjadi gula sederhana sebelum dimanfaatkan dalam fermentasi. Proses fermentasi glukosa terdiri dari 2 tahap yaitu pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dilanjutkan tahap perubahan asam piruvat menjadi produk akhir yang spesifik, misalnya asam laktat, etanol, asam asetat, asam format, dan sebagainya. Degradasi protein secara anaerobik dilakukan oleh enzim proteolitik. Protein yang terhidrolisis menjadi asam amino dan peptida akan terurai menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk dan digunakan sebagai sumber energi dan karbon oleh mikroorganisme anaerob. Mikroorganisme yang berperan dalam produk fermentasi bekasam, diantaranya pediococcus cereviceae, pediococcus halophilus, pediococcus pentosaceus, lactococcus garvieae, lactobacillus plantarum, streptococcus bovis, staphylococcus epidermidis, weisella cibaria, micrococcus sp dan bacillus sp.
Alat dan Bahan
Alat – alat
Pembuatan bekasam
Timbangan Analitik : untuk menimbang berat ikan,nasi, dan garam
yang dibutuhkan.
Toples atau Plastik : sebagai tempat untuk proses fermentasi dalam
pembutan bekasam.
Pisau : untuk memotong dan membersihkan ikan.
Talenan : sebagai tempat memotong ikan.
Sendok : untuk mencampur bahan bahan supaya merata.
Baskom saringan : untuk meletakan ikan segar yang diberi garam.
Penelitian TPC (Total Plate Count)
Bunsen : sebagai media pemanas untuk kerja aseptik.
Cawan petri : untuk tempat media padat dan sampel.
Autoclave : untuk sterilisasi media.
Oven : untuk sterilisasi cawan petri.
Inkubator : untuk tempat melakukan inkubasi.
Ose atau sengkelit : sebagai alat untuk menanam bakteri.
Erlenmeyer 250 ml : untuk tempat media cair.
Rak tabung reaksi : untuk tempat meletakan tabung reaksi.
Tabung reaksi : untuk media pengencer NaCl.
Timbangan digital : untuk menimbang sampel dan media yang akan
digunakan.
Bahan
Pembuatan bekasam
Ikan mujair
Garam
Cuka
Nasi atau beras sangrai
Bawang merah
Bawang putih
Cabai
Daun pisang
Air bersih
Penelitian TPC (Total Plate Count)
Alkohol
Aquadest
Media PCA
Media Na
Larutan pengencer NaCl
Kertas label
Penutup erlenmeyer dan tabung reaksi
Cara Kerja
Proses pembuatan bekasam
Disiapkan ikan mujair yang akan dibuat produk bekasam,
Membersihkan ikan dengan air bersih. (buang sisik,dan isi perut),
Timbang berat ikan yang sudah bersih tersebut,
Kemudian timbang garam 10-15 % dari berat ikan,
Lalu taburkan garam yang sudah ditimbang ke ikan didiamkan pada suhu ruang selama 24 jam,
Ikan ditiriskan dan ditambah beras sangrai yang sudah disemi haluskan, garam, cuka, sebanyak masing-masing 25% dari bobot ikan,
Selanjutnya tambahkan pula bawang merah, bawang putih, serta cabai secukupnya,
Setelah itu campuran ikan dengan beras sangrai, garam, cuka, serta bawang merah, bawang putih dan cabai ditempatkan dalam wadah plastik atau toples, kemudian ditutup rapat agar tidak ada udara yang masuk,
Kemudian campuran tersebut di peram selama 1-2 minggu agar terjadi proses feremntasi.
Sumber : Yahya et al., 1997
Proses pengenceran dan penanaman dalam media
Timbang media yang akan digunakan seperti PCA dan NA serta NaCl yang nantinya akan digunakan sebagai larutan pengencer,
Kemudian larutkan media tersebut dengan aquadest sesuai volume yang diinginkan,
Sebelum media digunakan lakukan sterilisasi terlebih dahulu dalam autoclave,
Baru setelah itu media dapat digunakan,
Untuk media PCA dan NA dimasukkan dalam cawan petri steril secara aseptik,
Kemudian setelah itu didiamkan agar media menjadi padat,
Sementara untuk NaCl dipipet dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril secara aseptik,
Selanjutnya ambil 1 gram sampel ikan bekasam menggunakan ose atau sengkelit dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl tadi,
Kemudian larutan pengencer yang sudah bercampur sampel dihomogenkan dengan cara di kocok perlahan,
Lalu secara aseptik ambil sampel yang ada di dalam larutan pengencer dengan menggunakan ose atau sengkelit dan ditanamkan ke media PCA dan NA yang sudah memadat.
Proses penanaman dengan cara metode gores kuadran, kemudian setelah selesai lakukan inkubasi di dalam inkubator dengan suhu 370 C selama 48 jam.
Proses penghitungan jumlah koloni
Cara menghitung koloni pada media PCA dan NA adalah sebagai berikut :
Cawan yang dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 25-250 bila dilakukan simplo dan < 250 bila dilakukan duplo.
Beberapa koloni yang tergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan,dapat dihitung sebagai satu koloni.
Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai garis tebal dihitung satu koloni.
Faktor pengenceran :
Koloni per ml :
D ata Hasil Pengamatan
Ikan yang digarami dan didiamkan pada suhu kamar selama 24 jam
Bahan-bahan bumbu dan ikan untuk membuat bekasam
Ikan yang sudah dibalurin garam, beras sangrai, cuka, bawang putih dan cabai
Hasil ikan bekasam yang sudah didiamkan selama 1 minggu
Ikan bekasam yang sudah di goreng
Media untuk TPC (Total Plate Count) Hasil uji TPC pada ikan bekasam
Tabel Pengamatan Bekasam Ikan Mujair
Berat ikan sebelum digarami : 100 gram
Berat garam (10-15% dari berat ikan) : 12 gram
Berat ikan yang sudah digarami : 86 gram
Berat garam (25 % dari berat ikan) : 22 gram
Berat cuka (25 % dari berat ikan) : 22 gram
Berat beras sangrai (25 % dari berat ikan) : 22 gram
Cabai rawit merah : 5 buah
Bawang putih : 1 buah
Hasil pengamatan cek pH : 6 (enam) à asam mendekati netral
Nama Panelis
Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
Kelompok 2
3
3
3
3
Kelompok 3
2
3
3
3
Kelompok 4
2
3
3
3
Kelompok 5
2
3
3
3
Kelompok 6
2
3
3
3
Keterangan Penilaian
1 = lembek
2 = lembut
3 = agak keras
4 = keras
1 = hambar
2 = sedikit asin
3 = asin
4 = sangat asin
1 = tidak kuat
2 = sedikit kuat
3 = kuat/harum
4 = sangat kuat
1 = putih
2 = kuning
3 = kuning coklat
4 = coklat
Tabel Presentase Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur, Rasa, Aroma, Warna
Skor Penilaian
Presentase Tingkat Kesukaan (%)
Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
1
0
0
0
0
2
80
0
0
0
3
20
100
100
100
4
0
0
0
0
Pehitungannya
Tabel Perhitungan media dan hasil pengamatan TPC
Media
Perhitungan
Pengamatan
PCA
25 ml x 2 x 6 klmpk x 23,5 gr/1000 = 7,05 gr
TBUD
NA
25 ml x 2 x 6 klmpk x 8 gr/1000 = 2,4 gr
TBUD
NaCl
0,85/100 x 9 ml x 6 klmpk = 0,459 gr
-
Pembahasan
Ikan relatif lebih cepat mengalami pembusukan daripada daging unggas dan mamalia karena pada saat ditangkap ikan selalu berontak sehingga banyak kehilangan glikogen dan glukosa. Glikogen dan glukosa pada hewan yang mati dapat mengalami glikolisis menjadi asam piruvat yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Apabila ikan terlalu banyak berontak pada saat ditangkap maka akan banyak kehilangan glikogen dan glukosa sehingga kandungan asam laktat ikan menjadi rendah.
Sehingga untuk memperpanjang daya simpan ikan banyak upaya yang dapat dilakukan melalui pengawetan, yaitu dengan cara penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, peragian dan pendinginan ikan baik secara tradisional maupun secara modern. Selain itu terdapat suatu cara yang telah lama digunakan untuk pengawetan ikan yaitu dengan cara fermentasi.
Salah satu contoh produk fermentasi makanan adalah bekasam. Bekasam atau bekasem ikan merupakan ikan awetan yang diolah dengan cara penggaraman. Produk ikan awetan ini banyak dikenal di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, sedang di daerah Kalimantan Tengah lebih dikenal dengan nama wadi. Jenis ikan yang biasa dipakai dalam pembuatan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, tawes, gabus, nila dan mujair.
Pada dasarnya prinsip pembuatan bekasam ada 3 tahap yaitu :
Proses penggaraman
Bertujuan untuk mencegah terjadinya pembentukan amoniak dari senyawa nitrogen dan berperan dalam menyeleksi mikroba sehingga pembusukan dapat diminimalisir dan daya simpan produk lebih panjang. Seleksi mikroba berperan dalam menghambat bakteri pembusuk, namun mendukung pertumbuhan dan aktifitas bakteri fermentasi yang bersifat halofilik (suka garam) atau halotoleran (tahan garam)
Penambahan karbohidrat
Bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktak yang berperan dalam menguraikan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa sederhana yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionta dan etil alkohol. Senyawa-senyawa tersebut berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada bekasam. Sumber karbohidrat yang umum digunakan adalah nasi, kerak nasi, beras sangrai, dan tapai beras.
Proses fermentasi
Bertujuan sebagai proses pemecahaan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik. Polisakarida lebih dahulu dipecah menjadi gula sederhana sebelum dimanfaatkan dalam fermentasi. Proses fermentasi glukosa terdiri dari 2 tahap yaitu pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dilanjutkan tahap perubahan asam piruvat menjadi produk akhir yang spesifik, misalnya asam laktat, etanol, asam asetat, asam format, dan sebagainya. Degradasi protein secara anaerobik dilakukan oleh enzim proteolitik. Protein yang terhidrolisis menjadi asam amino dan peptida akan terurai menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk dan digunakan sebagai sumber energi dan karbon oleh mikroorganisme anaerob. Mikroorganisme yang berperan dalam produk fermentasi bekasam, diantaranya pediococcus cereviceae, pediococcus halophilus, pediococcus pentosaceus, lactococcus garvieae, lactobacillus plantarum, streptococcus bovis, staphylococcus epidermidis, weisella cibaria, micrococcus sp dan bacillus sp.
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui pengawetan dari produk fermantasi bekasam dan mengetahui perubahan kimia yang terjadi dan mikrobia yang berperan dalam proses fermentasi bekasam serta agar mahasiswa memiliki ketrampilan dalam proses pembuatan bekasam.
Praktikum fementasi bekasam dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pangan Universitas Sahid Jakarta. Untuk rangkaian prosedurnya dimulai pada hari Selasa 17 maret 2015 pukul 10.00 WIB - selesai untuk perlakuan pembuatan bekasam hingga produk disimpan dalam toples pada kondisi anaerob. Selanjutnya dilakukan tes pH, uji organoleptik yang meliputi uji tekstur,rasa, aroma dan warna dilakukan pada hari selasa 24 maret 2015. Setelah dilakukan tes pH dan pengujian organoleptik selesai, pada hari yang sama dilakukan proses pengenceran sampel dan penanaman pada media PCA dan NA untuk mengetahui jumlah mikroba yang tumbuh pada sampel. Selanjutnya pada hari Jumat, 27 maret 2015 dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri yang tumbuh dalam 1 gram sampel ikan bekasam.
Sebelum dilakukannya pengujian organoleptik, kami mengadakan tes pH ikan bekasam terlebih dahulu
Dari data diatas dapat diketahui bahwa pada presentase 100% garam, beras sangrai serta cuka yang mengasilkan ikan bekasam dengan pH terendah (pH 4,5) adalah ikan bekasam yang dibuat oleh kelompok 3 dan 6. Hal ini bisa dikarenakan jenis ikan dan berat ikan yang digunakan antara kedua kelompok sama dan mendekati sehingga bisa menghasilkan pH yang sama, selain itu sifat cuka yang memang asam kemudian konsentrasi yang terlalu besar yaitu 100 %. Lalu pada presentase 50 % garam, beras sangrai, serta cuka yang menghasilkan ikan bekasam dengan pH diantara pH 4 dan 5 adalah ikan bekasam kelompok 2 dan 5. Hal ini dikarenakan kemungkinan pada saat melakukan praktikum berat dan jenis ikan berbeda sehingga menghasilkan pH yang berbeda pula pada konsentrasi yang sama. Sedangkan pada presentase 25 % garam, beras sangrai serta cuka yang menghasilkan ikan bekasam dengan pH tertinggi (pH 6) adalah ikan bekasam yang dibuat oleh kelompok 1 dan 4. Hal ini dikarenakan jenis ikan dan berat ikan yang sama dan mendekati sehingga bisa menghasilkan pH yang sama. Selain itu dapat dikatakan nilai pH-nya relatif mendekati normal. Nilai pH yang mendekati normal ini sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri, sehingga ikan segar harus segera diolah dengan baik agar layak untuk dikonsumsi. Pengolahan ikan ini dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimumkan manfaat hasil tangkapan maupun hasil budidaya.
Hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sebelum dimasak dilakukan dengan menilai 3 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, aroma serta warna. Untuk penilaian tekstur sebelum dimasak ialah agak keras, kemudian penilaian aroma ikan sebelum dimasak ialah seperti ikan pepes tetapi tidak menyengat, dan selanjutnya penilaian warna ikan sebelum dimasak ialah warna ikan tetap tetapi warna beras menjadi kekuningan. Hal ini dikarenakan penggunaan ikan mujair yang masih segar sebagai bahan pembuatan bekasam.
Sementara hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sudah digoreng dilakukan dengan menilai 4 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, rasa, aroma serta warna dari produk fermentasi hasil perikanan yang berupa bekasam ikan mujair.
Tekstur
Tekstur adalah sifat bahan yang dapat diterima dengan indera peraba. Uji organoleptik dengan parameter tekstur produk ikan bekasam yang sudah dimasak menunjukkan 80 % panelis mengatakan tekstur lembut. Hal ini terjadi karena berkurangnya kadar air pada bahan yang tertarik keluar dengan adanya penambahan garam sebanyak 25 % dari berat ikan.
Rasa
Rasa adalah penilaian yang menggunakan indera cecapan, khususnya mulut. Uji organoleptik dengan parameter rasa produk ikan bekasam yang sudah dimasak menunjukkan 100 % panelis mengatakan rasa ikan bekasam ini adalah asin. Hal ini bisa jadi dikarenakan penambahan garam yang terlalu banyak yaitu 25 % dari berat ikan.
Warna
Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa factor diantaranya cita rasa, warna, tektur dan nilai gizinya; disamping itu ada faktor lain misalnya sifat mikrobiologis (Winarno, 1999). Faktor-faktor di atas dapat mempunyai bobot yang berbeda, bergantung dari produk yang diuji namun salah satu faktor terpenting penilaian sensorik makanan adalah warna, karena faktor warna secara visual tampil terlebih dahulu dan sangat menentukan (Fennema, 1985). Hasil pengamatan parameter warna menunjukkan 100 % panelis mengatakan warna ikan bekasam yang sudah dimasak adalah kuning kecoklatan. Hal ini sangat dimungkinkan akibat penggunaan ikan mujair yang segar sebagai bahan pembuatan bekasam.
Bau
Bau merupakan salah satu komponen dari cita rasa bahan pangan dan telah menjadi penentu kelezatan suatu bahan makanan. Tidak seperti indra cecapan, indra pencium tidak tergantung pada penglihatan, pendengaran ataupun sentuhan (Winarno, 1991). Bekasam ikan mempunyai bau yang khas yang merupakan ciri khusus dari produk-produk fermentasi (Tedja dan Nur, 1979). Pada hasil pengujian organoleptik dengan parameter bau, aroma yang tercium ikan bekasam yang sudah dimasak teridentifikasi sebagai aroma harum bumbu. Ini terbukti dengan hasil uji 100 % panelis yang ada mengatakan bahwa ikan bekasam kelompok kami beraroma harum bumbu. Pada umumnya aroma produk fermentasi memiliki cita rasa khas apabila yang diolah ialah ikan segar dan memenuhi standar pengolahan yang baik. Winarno, (1991) menyatakan bahwa pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Bau asam dapat diakibatkan oleh turunnya pH sebuah makanan atau terurainya senyawa-senyawa pada makanan menjadi senyawa yang volatile. Namun karena produk ikan kami memiliki pH tidak terlalu asam bahkan mendekati netral maka tidak menimbulkan bau asam.
Jumlah koloni bakteri yang terdapat pada produk bekasam juga turut mempengaruhi kualitas bekasam yang dihasilkan. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan ternyata ikan bekasam kelompok kami ditemukan adanya bakteri yang tumbuh, tetapi tidak dapat dihitung sesuai aturan perhitungan TPC. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok kami hasilnya TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung). Hal ini dimungkinkan terjadi karena ose atau sengkelit yang kurang steril, kemudian saat mengambil sampel yang kurang steril dan pengerjaan yang dilakukan dibawah AC, sehingga kontaminan dapat tumbuh dan pertumbuhannya menyebar.
Kesimpulan
Bekasam atau bekasem ikan merupakan ikan awetan yang diolah dengan cara penggaraman. Produk ikan awetan ini banyak dikenal di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, sedang di daerah Kalimantan Tengah lebih dikenal dengan nama wadi. Jenis ikan yang biasa dipakai dalam pembuatan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, tawes, gabus, nila dan mujair.
Pada dasarnya prinsip pembuatan bekasam ada 3 tahap yaitu : proses penggaraman, penambahan karbohidrat dan proses fermentasi. Proses fermentasi pada Bekasam ikan, yaitu dilakukan bersamaan dengan proses fermentasi nasi (karbohidrat). Dalam hal ini nasi sengaja ditambahkan ke dalam toples dan ikan untuk digunakan sebagai sumber energi oleh mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi daging ikan.
Hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sebelum dimasak dilakukan dengan menilai 3 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, aroma serta warna. Untuk penilaian tekstur sebelum dimasak ialah agak keras, kemudian penilaian aroma ikan sebelum dimasak ialah seperti ikan pepes tetapi tidak menyengat, dan selanjutnya penilaian warna ikan sebelum dimasak ialah warna ikan tetap tetapi warna beras menjadi kekuningan. Hal ini dikarenakan penggunaan ikan mujair yang masih segar sebagai bahan pembuatan bekasam.
Sementara hasil uji organoleptik bekasam ikan mujair yang sudah digoreng dilakukan dengan menilai 4 parameter mutu bahan pangan yang meliputi tekstur, rasa, aroma serta warna dari produk fermentasi hasil perikanan yang berupa bekasam ikan mujair. Untuk tekstur 80 % memilih lembut, lalu untuk rasa 100 % memilih asin, selanjutnya untuk aroma 100 % memilih aroma harum bumbu, dan untuk warna 100 % memilih kuning kecoklatan.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan ternyata ikan bekasam kelompok kami ditemukan adanya bakteri yang tumbuh, tetapi tidak dapat dihitung sesuai aturan perhitungan TPC. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok kami hasilnya TBUD.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Buckle, K.A ; R.A. Edwardrs; G.H.Fleet and M.Wolfon.1987. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Murniyati, A.S. dan Sunarman. 2000. Pendinginan pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius Yogyakarta.
Natalia, Aulia Sari Setiadi. 2001. Mempelajari Penggunaan Cairan Pikel Ketimun Sebagai Sumber Bakteri Asam Laktat Pada Pembuatan Bekasam Ikan Tawes (Puntius javanicus). Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultaas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Riza, F. 2008. Analisis Deskriptif Bekasam Ikan Kembung dengan penggunaan Samu dan Samu Ketan Putih. Jurusan teknologi Industri Fakulatas Teknik. Universitas Negeri Malang.
Setiadi, N. 2001. Mempelajari Penggunaan Cairan Pikel Ketimun sebagai Sumber Bakteri Asam laktat pada Pembuatan Bekasam Ikan Tawes (Puntius javanicus) . fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ITB. Bogor.
Tedja, T Dan A. Nur. 1979. Mempelajari Pengaruh Bakteri Asam Laktat Pada Fermentasi Ikan Bergaram. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Balai Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta
Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta.
Yahya, Djoko Wibowo, Purnomo Darmadji. 1997. Karakteristik Bakteri Asam Laktat Dan Perubahan Kimia Pada Fermentasi “Bekasam” Ikan Mujair (Tilapia Mossambica). Program Studi Ilmu Dan Teknologi Pangan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.
Zulnaidi, 2007. Metode Penelitian. Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra. Universitas Sumatera Utara. Medan.
GLOSARIUM
Anaerobik = keadaan dimana kadar oksigen yang dibutuhkan terbatas atau
sedikit.
Aseptik = Bebas dari mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi
atau kontaminasi.
Autoclave = Alat untuk sterilisasi basah dengan prinsip menggunakan
tekanan uap air panas.
Fermentasi = produksi energi dalam keadaan anaerobik memanfaatkan
Mikroorganisme.
Inkubasi = proses memelihara kultur bakteri dalam suhu tertentu selama
jangka waktu tertentu untuk memantau pertumbuhan bakteri.
Koloni = Pertumbuhan mikroorganisme pada medium kultur padat yang
dapat dilihat dengan mata (secara makrokopik).
Kontaminasi = Masuknya organime yang tidak diinginkan ke dalam suatu
objek atau bahan.
Medium = Komponen yang digunakan untuk mensuplai nutrien untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme.
Mikroorganisme = Suatu bentuk kehidupan yang berukuran mikroskopik.
Oven = Alat untuk sterilisasi kering dengan prinsip tidak menggunakan
tekanan melainkan menggunakan udara kering.
Total Plate Count = Metode yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah
mikroba di dalam bahan pangan.
Steril = Bebas dari organisme hidup
Categories
Mikrobiologi Pengolahan Pangan,
Praktek
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI PENGOLAHAN PANGAN : Pembuatan Tapai Singkong
Laporan Mikrobiologi Pengolahan Pangan : Pembuatan Tapai Singkong
Linda Syuhada 2013340022
Theresia Vintania 2013340036
Aprilisa Siwi Lestari 2013340003
Luneta Aurelia Fatma 2013340014
Aji Indra Saputra 2011340010
Jurusan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Sahid Jakarta
2015
Pembuatan Tapai Singkong
( 03 Maret 2015 )
Latar Belakang
Tapai merupakan makanan tradisional yang cukup terkenal di Indonesia. Tapai merupakan salah satu produk bioteknologi konvensional di bidang pangan yang dalam pembuatannya memanfaatkan proses fermentasi. Bahan dasar pembuatan tapai dapat berupa singkong, beras, atau ketan. Fermentasi pada tapai dilakukan oleh mikroorganisme-mikroorganisme penghasil enzim fermentase dan enzim-enzim lainnya yang dibutuhkan pada proses fermentasi. Mikroorganisme tersebut terdapat pada ragi.
Ragi tapai atau yang sering disebut sebagai “ragi” adalah starter untuk membuat tapai ketan atau tapai singkong atau tapai beras. Di dalam ragi ini terdapat mikroorganisme yang dapat mengubah karbohidrat (pati) menjadi gula sederhana (glukosa) yang selanjutnya diubah lagi menjadi alkohol (Diana Rachintaniawati, 2006). Kemampuan ragi dalam mengubah karbohidrat menjadi glukosa dan mengubahnya lagi menjadi alkohol, asam asetat, dan air tergantung pada beberapa hal salah satunya adalah massa ragi.
Tujuan Praktikum
Adapun dari praktikum mikrobiologi pengolahan pangan yang dilakukan kali ini ialah bertujuan :
Memahami proses pembuatan tapai singkong
Mendeskripsikan langkah-langkah proses pembuatan tapai singkong
Memahami peranan organisme saccharomyces cerivisiae dalam peragian
Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya fermentasi dalam pembuatan tapai singkong
Teori Singkat
Tapai merupakan makanan tradisional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Bahan baku Tapai Ketan berupa beras ketan dan ragi sebagai bahan penolongnya. Proses pembuatan tapai melibatkan proses fermentasi yang dilakukan oleh jamur Saccharomyces cereviceae. Jamur ini memiliki kemampuan dalam mengubah karbohidrat (fruktosa dan glukosa) menjadi alkohol dan karbondioksida. Dengan proses pengolahan yang baik, tapai ketan ini dapat tahan lebih dari 1 minggu (Hala, 2012).
Fermentasi tapai dapat meningkatkan kandungan Vitamin B1 (tiamina) hingga tiga kali lipat. Vitamin ini diperlukan oleh sistem saraf, sel otot, dan sistem pencernaan agar dapat berfungsi dengan baik. Cairan tapai dan tapai ketan diketahui mengandung bakteri asam laktat sebanyak ± satu juta per mililiter atau gramnya. Produk fermentasi ini memberikan efek pada sistem pencernaan, karena meningkatkan jumlah bakteri dalam tubuh dan mengurangi jumlah bakteri jahat. Kemampuan tapai mengikat dan mengeluarkan aflatoksin dari tubuh. Aflaktosin merupakan zat toksik atau racun yang dihasilkan oleh kapang, terutama Aspergillus flavus. Singkong mengandung sianida yang bersifat toksik dalam tubuh manusia.. Konsumsi tapai dapat mencegah terjadinya anemia karena mikroorganisme yang berperan dalam fermentasinya mampu menghasilkan vitamin B12 (Setiawan, 2012).
Ragi tape atau yang sering disebut sebagai “ragi” adalah starter untuk membuat tape ketan atau tape singkong. Di dalam ragi ini terdapat mikroorganisme yang dapat mengubah karbohidrat (pati) menjadi gula sederhana (glukosa) yang selanjutnya diubah lagi menjadi alkohol. Bberapa jenis mikroorganisme yang terdapat dalam ragi adalah Chlamydomucor oryzae, Rhizopus oryzae, Mucor sp., Candida sp., Saccharomyces cerevicae, Saccharomyces verdomanii, dan lain-lain. Pada dasarnya pembuatan ragi merupakan teknik dalam memperbanyak mikroorganisme yangberperan dalam pembuatan tape. Perbanyakan ini dilakukan dalam suatu medium tertentu dan setelah cukup banyak mikroba yang tumbuh, pertumbuhannya dihentikan serta dibuat dalam keadaan istirahat, baik dalam bentuk sel maupun dalam bentuk sporanya. Penghentian pertumbuahn mikroba tersebut dilakukan dengan cara mengeringkan medium tumbuhnya ( Rochintaniawati, 2008).
Ragi tape merupakan salah satu faktor penentu dalam pembuatannya harus memperhatikan beberapa kisaran pH yang optimal bagi pertumbuhan mikrobia khamir dan kapang. Selain itu khamir dan kapang juga membutuhkan media tumbuh yang mengandung banyak karbohidrat. Oleh karena itu dapat digunakan tepung beras sebagai nutrisi atau media tumbuh kedua jenis mikroba tersebut. Ragi tape merupakan populasi campuran suatu kumpulan mikrobia yang berperan dalam pembuatan tape. Mikrobia yang terdapat pada ragi tersebut diperoleh dari alam melalui proses penangkapan dengan menggunakan media tumbuh. Kapang adalah jasad renik yang berbentuk benang multiseluler, tidak berklorofil dan belum mempunyai deferensiasi dalam jaringan. Kapang yang menguntungkan dapat digunakan dalam pembuatan makanan fermentasi mikroba. Mikrobia kapang mampu merubah amilum menjadi gula sederhana. Mikroba yang terdapat pada ragi tape adalah Rhizopus Sp. Mikrobia tersebut bersama-sama secara sinergis melakukan perombakan kompnen kimia kompleks pada substrat menjadi komponen yang lebih sederhana ( Djumingin, 2011).
Ada beberapa faktor (baik faktor fisik maupun faktor fisiologi dan biokimia) yang mempengaruhi pertumbuhan suatu mikroorganisme, sehingga menyebabkan suatu mikroorganisme, sehingga menyebabkan suatu mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak pada suatu bahan atau sediaan tertentu. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka dapat diatur pertumbuhan mikroorganisme di dalam suatu sediaan atau makanan/ minuman dan sebagainya. Sehingga pertumbuhan suatu mikroorganisme dapat diatur dengan tujuan menstimulir pertumbuhannya seperti pada proses fermentasi (Djide, 2006).
Alat dan Bahan
Alat – alat
Baskom 6. Panci
Wadah plastik/toples 7. Kompor
Daun pisang 8. Neraca analitik
Pisau 9. Timbangan biasa
Sendok 10. Garpu
Bahan
Singkong 3. Gula
Ragi 0,1 % 4. Air bersih
Cara Kerja
Pesiapkan terlebih dahulu alat dan bahan yang akan digunakan,
Kemudian ambil beberapa singkong dan dikupas lalu kikis bagian kulit arinya hingga kesat,
Potong singkong yang telah dikupas sesuai keinginan,
Selanjutnya bersihkan singkong dengan cara dicuci dengan air atau direndam,
Setelah itu, kukus singkong dengan menggunakan panci yang sudah berisi air dan kompor sampai empuk/lunak kurang lebih 30 menit, (tes keempukan/kelunakan dengan cara ditusuk garpu)
Langkah berikut, singkong yang sudah empuk/lunak diangkat kemudian didinginkan,
Selagi menunggu dingin, ambillah sebuah wadah plastik/toples beserta tutupnya untuk tempat menaru singkong,
Kemudian alasi dalam tempat itu dengan daun pisang,
Selanjutnya timbang singkong yang sudah dingin tersebut, dan catat hasilnya karena akan berhubungan dengan jumlah ragi yang akan digunakan,
Berikutnya singkong dimasukkan kedalam wadah plastik/toples yang telas dialasi daun singkong tadi,
Masukkan dan taburkan ragi 0,1 % b/b singkong yang dikukus (berarti 0,1 x hasil timbangan singkong/100 à inilah ragi yang dibutuhkan)
Setelah diberikan ragi langkah selanjutnya memasukkan gula kurang lebih satu sendok makan,
Berikutnya wadah plastik/ toples yang berisi tapai yang telah dibungkus daun singkong ditutup kemudian disimpan selama 24-48 jam untuk proses fermentasi atau dengan kata lain melakukan inkubasi selama 3 hari,
Setelah fermentasi, lakukan pengamatan organoleptik dan mengukur pH terhadap hasil tapai singkong.
Data Hasil Pengamatan
Singkong yang dikukus Singkong yang ditabur ragi dan gula
Hasil fermentasi tapai singkong
Hasil pengamatan cek pH tapai singkong
Data pengamatan organoleptik sementara
Tabel Pengamatan Tapai Singkong
Berat singkong yang dikukus : 303 gram
Jumlah singkong yang digunakan : 2 batang
Jumlah ragi yang digunakan : 0,1 % à 0,1 x 303 gram / 100 = 0,303 gram
Hasil pengamatan cek pH : 4 (empat) à asam
Nama Panelis
Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
Kelompok 2
3
3
4
3
Kelompok 3
4
3
1
2
Kelompok 4
4
3
1
2
Kelompok 5
4
3
1
2
Kelompok 6
4
4
2
2
Keterangan Penilaian
1 = sangat keras
2 = keras
3 = agak keras
4 = tidak keras
1 = sangat pahit
2 = pahit
3 = agak pahit
4 = tidak pahit
1 = sangat kuat
2 = kuat
3 = agak kuat
4 = tidak kuat
1 = kuning coklat
2 = kuning
3 = agak kuning
4 = putih
Tabel Presentase Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur, Rasa, Aroma, Warna
Skor Penilaian
Presentase Tingkat Kesukaan (%)
Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
1
0
0
60
0
2
0
0
20
80
3
20
80
0
20
4
80
20
20
0
Pehitungannya
Pembahasan
Praktikum mengenai pembuatan tapai dari singkong yang telah dilakukan oleh praktikan bertujuan memahami proses pembuatan tapai singkong, mendeskripsikan langkah-langkah proses pembuatan tapai singkong, memahami peranan organisme saccharomyces cerivisiae dalam peragian, memahami faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya fermentasi dalam pembuatan tapai singkong.
Penggunaan alat dan bahan pada praktikum ini mempunyai tujuan dan fungsinya yang yang sama pada pembuatan tapai pada umumnya. Pada praktikum ini, singkong yang digunakan sebagai bahan dasar dan nantinya sebagi substrat bagi khamir Saccharomyces cerevisiae dalam proses fermentasi. Ragi disini berfungsi dalam mempercepat fermentasi tape singkong karena pada ragi terkandung khamir Saccharomyces cerevisiae. Kemudian daun pisang digunakan karena memberikan suasana yang cocok untuk mikrobia fermentator berperan aktif dalam proses fermentasi karbohidrat menjadi etanol. Seperti menurut literature, pada umumnya pembuatan tapai setelah ditaburi ragi, akan ditutup dengan rapat agar tidak ada udara yang masuk ke dalam wadah penyimpanan. Ini disebabkan karena pada pembutan tapai singkong memanfaatkan bakteri anaerob, yaitu bakteri yang tidak memerlukan udara dalam proses fermentasinya. Tapai dibungkus daun pisang untuk membuat suasana menjadi mikroaerob agar singkong tidak berwarna putih dan rasa menjadi alkoholik. pada tahap awal akan terjadi proses aerob, jika terbuka akan mudah terkontaminasi. Pada hari kedua terjadi proses anaerob pembentukan citarasa alkohol oleh khamir sehingga butuh tertutup. Berikutnya jika ada udara maka alkohol akan dioksidasi menjadi asam asetat sehingga menjadi asam. Selain itu alat dan bahan lain yang digunakan seperti timbangan biasa, neraca analitik, kompor, panci, air bersih, pisau, sendok, garpu, wadah plastik/toples berguna dalam proses penimbangan,pengukusan, pendinginan sampai akhirnya tapai itu dikemas dan disimpan.
Proses pembuatan tapai singkong perlu diperhatikan untuk dapat menghasilkan tapai yang sesuai dan diinginkan juga dapat dikonsumsi. Proses pembuatan tapai singkong dimulai dari pemilihan singkong yang baik, dikuliti dan dicuci bersih serta ditiriskan. Selanjutnya dikukus sampai matang dan didinginkan ditaburi ragi secukupnya, di bungkus rapat dengan daun pisang dan disimpan selama ± 2-3 hari di suhu kamar.
Baru setelah 3 hari, dapat dilakukan pengamatan dengan cara membuka bungkusan tapai dan mengukur pH tapai menggunakan kertas pH. Cara pengukurannya cukup mudah dengan mengambil sebagian dari tapai singkong tersebut kemudian di masukkan ke dalam beaker glass dan tambahkan aquadest, aduk merata hingga air aquadest berubah menjadi warna air tapai yaitu kekuning-kuningan. Selanjutnya masukkan kertas pH ke dalam beaker glass yang berisi air tapai itu dan catat hasil pH yang di dapat.
Menurut Girindra (1993) pH sangat berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang dihasilkan mikroba dalam ragi, karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH. Hal ini menyebabkan daerah katalitik dan konformasi enzim menjadi berubah. Selain itu perubahan pH juga menyebabkan denaturasi enzim dan mengakibatkan hilangnya aktifitas enzim. Dalam keadaan normal pH yang dimiliki harus tetap karena jika mengalami perubahan akan menyebabkan pergeseran aktifitas enzim. Hal ini akan mempengaruhi dan mengacaukan sistem katabolik dan anabolik dalam sel ragi.
Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan, dapat diketahui bahwa ketika ragi 0,1 % dari berat singkong menghasilkan pH 4, kemudian pada ragi 0,2 % dari berat singkong menghasilkan pH 5, dan pada ragi 0,3 % dari berat singkong menghasilkan pH 5. Secara sederhana, berikut ini merupakan grafik yang mengambarkan hubungan antara massa ragi dan pH tapai yang dihasilkan:
Dari data diatas dapat diketahui bahwa banyaknya presentase ragi yang mengasilkan tapai dengan pH tertinggi (pH 5) adalah tapai yang dibuat dengan menambahkan 0,2 % dan 0,3 % ragi. Sedangkan pembuatan tapai dengan menambahkan ragi sebanyak 0,1 % pH tapai sebesar 4. Hal ini menunjukkan bahwa tapai ragi 0,1 % tingkat keasamannya rendah.
Dalam proses fermentasi singkong menjadi tapai, pati dari singkong akan berubah menjadi gula oleh kapang jenis Chlamydomucor dan oleh mikroorganisme ragi Saccaromyces cereviceae digula diubah menjadi alkohol. Saccaromyces cereviceae yang biasanya dijual dipasar dalam bentuk ragi bercampur tepung beras. Ragi tapai yang sering kita jumpai dipasar merupakan adonan khusus yang dibuat dengan mencampurkan biakan khamir, tepung beras dan berbagai macam bumbu (kayu manis, bawang putih, laos, dan jahe). Bumbu-bumbu ini dapat bersifat senyawa anti mikroba yang mampu mengurangi jumlah mikroba non khamir, sebagai sumber nutrien dan sebagai pembentuk rasa dan aroma pada produk tape. Kualitas tapai sangat tergantung pada kondisi lingkungan yaitu suhu dan kondisi anaerob. Seperti dalam percobaan ini praktikan mendapatkan ragi yang dijual dipasar.
Tapai mempunyai rasa yang spesifik yaitu manis, alkoholis dan kadang-kadang asam. Hal ini karena terjadi perubahan pada bahan dasar menjadi tapai. Mula-mula pati yang ada dalam bahan dipecah oleh enzim menjadi dekstrin dan gula-gula sederhana. Gula-gula yang terbentuk selanjutnya dihidrolisis menjadi alkohol, pada fermentasi lebih lanjut alkohol dioksidasi menjadi asan-asam organik antara lain asam asetat, asam suksinat dan asam malat. Asam-asam organik dan alkohol membentuk ester yang merupakan komponen cita rasa.
Dalam pembuatan tapai ini ada 2 jenis jamur yang berperan yaitu Endomycopsis fibullgera untuk mengubah pati menjadi gula sehingga tape berasa manis dan Saccaromyces cereviceae/Rhizopus oryzae yang mengubah gula menjadi alkohol. Jika proses ini berlangsung terus dan tidak diatur sehingga gula yang ada langsung diubah menjadi asam organik, sehingga tape akan berasa manis dan alkoholik serta sedikit asam. Tetapi ada juga yang menggunakan ragi tapai dari campuran populasi Aspergillus, Saccaromyces, Candida, Hansenulla, Bakteri Acetobacter untuk hidup secara sinergis. Aspergillus untuk menyederhanakan amilum. Saccaromyces, candida, dan Hansenulla berfungsi untuk mengurai gula menjadi alkohol dan asam-asam organik selama fermentasi terus berlanjut. Dan Acetobacter berfungsi untuk mengubah alkohol menjadi asam cuka.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan. Secara sederhana proses fermentasi tapai adalah sebagai berikut:
Diagram Proses Fermentasi Tapai
Hasil pengukuran pH pada tapai ini sesuai dengan hipotesis dan literatur yang menyatakan bahwa semakin banyak massa ragi yang digunakan, maka rasa asam pada tapai akan berkurang, dalam arti pH tapai semakin tinggi. Sebab, semakin banyak jumah ragi, maka jumlah enzim amilase dalam ragi yang mengubah pati menjadi gula semakin banyak dan glukosa penyebab rasa manis diproduksi lebih banyak. Akan tetapi, pernyataan ini berlaku untuk fermentasi yang dilakukan tidak lebih dari 3 hari.
Waktu fermentasi dengan massa enzim memiliki hubungan yang erat. Waktu fermentasi suatu enzimatis harus tetap untuk menentukan keadaan yang optimum. Semakin lama fermentasi, semakin banyak hasil reaksi yang diperoleh, tetapi pada batas waktu tertentu hasil reaksi menjadi konstan dan akhirnya menurun. Hal tersebut bermakna bahwa dengan turunnya reaksi maka akan diikuti dengan hasil reaksi yang menurun (Girindra, 2003).
Selain itu, rasa asam berlebih pada tapai dapat timbul karena perlakuan-perlakuan (proses) yang kurang teliti, seperti penambahan ragi yang berlebihan dan penutupan yang kurang rapat pada saat fermentasi. Selain itu rasa asam pada tapai dapat terjadi bila fermentasi berlangsung terlalu lanjut.
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil yang hampir mendekati sempurna. Hal ini dapat dibuktikan melalui uji organoleptik yang telah dilakukan bersama 5 kelompok lainnya, dimana hasil yang diperoleh adalah tanggapan yang cukup beragam dengan mayoritas mengatakan hasilnya baik. baik dari segi tekstur, warna, bau, untuk pengecualian rasa masih kurang sedikit manis.
Melalui uji organoleptik bersama 5 kelompok lainnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil fermentasi tapai kelompok kami ialah untuk warna 80 % kelompok yang ada mengatakan produk tapai kelompok kami berwarna kuning, warna kuning ini karena pengaruh faktor genetik dari singkong itu sendiri, karena singkong yang digunakan memang singkong kuning atau mentega. Kemudian untuk aroma 60 % mengatakan kuat seperti singkong kebanyakan dengan aroma alkohol pada tapai. Sedangkan untuk tekstur 80 % mengatakan produk tapai kami tidak keras dalam hal ini tentu produk tapai kami sudah lembut seperti tapai pada umumnya. Dan untuk rasanya adalah 80 % mengatakan produk tapai kami agak pahit, hal ini mungkin karena pada penambahan ragi yang kebanyakan sehingga rasanya agak pahit, serta kurang manis karena penambahan gula yang terlalu sedikit pada tapai, tidak seperti yang dilakukan pada industri-industri tapai kebanyakan.
Dengan demikian faktor yang sangat mempengaruhi hasil tapai yang bagus adalah pemilihan singkong, seharusnya untuk pembuatan tapai ini yang digunakan ialah singkong mentega karena bisa disimpan dalam waktu yang lama, faktor lainnya yaitu proses pencucian yang harus benar-benar bersih supaya dapat menghasilkan tapai yang bagus dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan faktor selanjutnya yaitu penggerukkan singkong supaya tapai yang dihasilkan tidak terlalu banyak mengandung air sehingga tahan lama. Kemudian proses penambahan ragi yang harus sesuai serta teliti agar didapatlah tapai yang enak dan sesuai dengan yng diinginkan.
Kesimpulan
Hasil pengukuran pH pada tapai ini sesuai dengan hipotesis dan literatur yang menyatakan bahwa semakin banyak massa ragi yang digunakan, maka rasa asam pada tapai akan berkurang, dalam arti pH tapai semakin tinggi. Sebab, semakin banyak jumah ragi, maka jumlah enzim amilase dalam ragi yang mengubah pati menjadi gula semakin banyak dan glukosa penyebab rasa manis diproduksi lebih banyak. Akan tetapi, pernyataan ini berlaku untuk fermentasi yang dilakukan tidak lebih dari 3 hari.
Melalui uji organoleptik bersama 5 kelompok lainnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil fermentasi tapai kelompok kami ialah untuk warna 80 % kelompok yang ada mengatakan produk tapai kelompok kami berwarna kuning, warna kuning ini karena pengaruh faktor genetik dari singkong itu sendiri, karena singkong yang digunakan memang singkong kuning atau mentega. Kemudian untuk aroma 60 % mengatakan kuat seperti singkong kebanyakan dengan aroma alkohol pada tapai. Sedangkan untuk tekstur 80 % mengatakan produk tapai kami tidak keras dalam hal ini tentu produk tapai kami sudah lembut seperti tapai pada umumnya. Dan untuk rasanya adalah 80 % mengatakan produk tapai kami agak pahit, hal ini mungkin karena pada penambahan ragi yang kebanyakan sehingga rasanya agak pahit, serta kurang manis karena penambahan gula yang terlalu sedikit pada tapai, tidak seperti yang dilakukan pada industri-industri tapai kebanyakan.
DAFTAR PUSTAKA
Djide, Natsir M, dkk. 2006. Analisis Mikrobiologi Farmasi. Makassar: Laboratorium Mikrobiologi Farmasi FMIPA. Universitas Hasanuddin.
Djumingin & Ernawati Dyah. 2011. Pengaruh Kadar Tepung Beras dan Kadar Air Jeruk Terhadap Mutu Ragi Tape. FTP Unwidha Klaten. Makassar. Di akses pada tanggal 19 November 2012
.
Hala, Yusminah & Hartono. 2012. Penuntun Praktikum Pengantar Bioteknologi. Makassar: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar.
Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Arcan.
Rochintaniawati, Dian. 2008.Pembuatan Ragi Tape. Penebar Swadaya, Jakarta.
Setiawan, Agus. 2012. Pembuatan Tape dengan Fermentasi. http://arpramamatsaku.blogspot.com/2012/02/pembuatan-tape-dengan-fermentasi.html. Diakses pada tanggal 3 Maret 2015
Tarigan, J. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Jakarta: Depdikbud, Dikti, PLPPT.
Winarno. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. Jakarta: PT. Garamedia Pustaka Utama.
GLOSARIUM
Anaerobik : keadaan dimana kadar oksigen yang dibutuhkan terbatas atau
sedikit.
Disakarida : dua gugus gula
Fermentasi : produksi energi dalam keadaan anaerobik memanfaatkan
mikroorganisme
Glukosa : zat gula
Khamir : benang-benang jamur
Kapang : jasad renik yang berbentuk benang multiseluler, tidak berklorofil
dan belum mempunyai deferensiasi dalam jaringan.
Mikroorganisme : organisme kecil (jasad renik)
Monosakarida : satu gugus gula
Sakarida : gugus gula
Sakarifikasi : proses pengubahan glukosa menjadi disakarida/monosakarida
Categories
Mikrobiologi Pengolahan Pangan,
Praktek
Langganan:
Postingan (Atom)