Powered By Blogger

Jumat, 27 November 2015

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA DAN PROSES PANGAN : Pengamatan Daging dan Pembuatan Daging Curing

Diposting oleh Luneta Aurelia Fatma di 18.33.00


LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA DAN PROSES PANGAN
Pengamatan Daging dan Pembuatan Daging Curing








Disusun Oleh:
Kelompok 1
Ashilah Salim                                 2014349119
Dewi Arfika Yuliyati                     2014349118
Dwi Febriyani                                 2013340019
Luneta Aurelia Fatma                     2013340014
Muhammad Rofit Amrizal            2013340096
Nisrina Khairani                             2013340048
Triana Ayu Wulandari                    2013340052


Jurusan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Sahid Jakarta
2015
1.         LATAR BELAKANG
            Daging diperoleh setelah otot berubah melalui proses penyembelihan atau ternak dimatikan. Selama dan segera setelah penyembelihan ternak, otot mengalami perubahan-perubahan yang mempengaruhi sifat-sifat dan kualitas daging. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh hewan dan produk hasil olahannya yang sesuai untuk dikonsumsi. Daging harus tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Termasuk ke dalam definisi daging di atas adalah organorgan seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot. Daging tersusun atas berbagai macam jaringan tubuh seperti jaringan adiposa, jaringan ikat, jaringan saraf, jaringan epitel dan jaringan otot. Jaringan otot merupakan komponen terbesar dari daging sehingga pembahasan mengenai daging lebih banyak mempelajari sifat dari jaringan otot ini, khususnya otot sekeletal. Namun demikian yang sering dijadikan pembahasan tentang daging adalah hanya urat daging (jaringan otot skeletal) yang dikonversikan menjadi daging setelah hewan  dipotong (Suharyanto, 2008).
            Bila merujuk pada SNI 01-3947-1995 dan SNI 01-3948-1995 maka daging sapi/kerbau dan kambing/domba dideskripsikan sebagai urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging pada bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi/kerbau yang sehat waktu dipotong. Sementara untuk daging kuda belum dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Jika merujuk pada SNI, maka daging adalah yang menyatu dengan karkas. Karkas adalah ternak yang telah disembelih kemudian dibuang darahnya, dikuliti  (kecuali babi)/dibului pada unggas, dibuang kepalanya dari pangkal kepala, dibuang  saluran pencernaanya, dibuang organ dalamnya kecuali ginjal, dibuang kaki depan dan belakang dari lututnya (kecuali babi, utuh). Pada Unggas ada yang memasukkan leher bukan ke dalam kategori bagian karkas (Suharyanto, 2008).
Daging dapat dikategorikan berdasarkan asalnya (jenis ternaknya), yaitu (Suharyanto, 2008) :
Ø Daging merah meliputi daging sapi, babi, kambing, domba, rusa, kerbau, onta, dan lain-lain.
Ø Daging putih meliputi semua jenis unggas, c) daging ikan, yaitu semua produk-produk ikan dan laut; d) daging hewan liar, berasal dari hewan yang belum terdomestikasi.
Setiap jenis ternak memiliki ciri-ciri tersendiri terutama dalam hal warna dan lemaknya. Hal ini dapat dijadikan pegangan dalam membedakan jenis daging berdasarkan asal ternaknya. Karaktersitik tersebut adalah (Suharyanto, 2008) :
1.    Daging sapi
  Warna merah khas daging sapi: warna gelap, warna keungu-unguan dan akan berubah menjadi merah chery bila daging tersebut kontak dengan oksigen terbatas.
      Serat daging halus dan sedikit berlemak tergantung letak daging dalam karkas.
      Konsistensi padat.
      Lemak berwarna kekuning-kuningan.
2.    Daging kerbau
      Daging berwarna lebih merah dari daging sapi.
      Serat otot/daging agak kasar.
      Lemaknya berwarna putih.
3.    Daging domba
      Warna merah khas domba, merah lebih gelap.
      Daging terdiri dari serta-serat halus yang sangat rapat jaringannya.
      Konsistensi cukup padat.
      Diantara otot-otot dan bawah kulit terdapat banyak lemak.
      Lemak berwarna putih.
      Daging domba jantan berbau khas.
4.    Daging kambing
      Daging berwarna lebih pucat dari domba.
      Lemak berwarna putih.
5.    Daging ayam
      Warna daging pada umumnya keputih-putihan.
      Serat daging halus.
      Konsistensi kurang padat.
      Warna putih kekuning-kuningan dengan konsistensi lunak.
            Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan hanya dengan garam salpeter/sendawa dan garam dapur saja dan kemudian, ditambahkan bahan-bahan lainnya bila akan dibuat produk olahannya (Suharyanto, 2008).
            Curing itu sendiri merupakan cara mengawetkan daging secara kimiawi. Produk dari daging curing ini disebut dengan cured meat. Biasanya cured meat ini  merupakan produk intermediate daging karena setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi olahan lainnya, misalnya sosis, bakso dan lain-lainnya. Curing pada daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging, menstabilkan flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki produk daging (misalnya sosis) dengan warna merah cerah daging, maka perlu dicuring dengan nitrit (Firman, 2011).
            Curing memiliki tiga tujuan utama, yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan warna (color). Curing daging membutuhkan garam yang merupakan bahan pengawet pangan pertama digunakan manusia. Garam telah menjadi bahan penting dalam pengawetan produk-produk peternakan dan perikanan. Pada tingkat tertentu, garam mencegah pertumbuhan beberapa tipe bakteri yang bertanggung jawab dalam pembusukan daging. Garam dapat mencegah pertumbuhan bakteri, baik yang disebabkan oleh efek penghambat langsung dari bakteri maupun oleh efek pengeringan yang dimiliki bakteri dalam daging (Heni, 2007).
            Curing merupakan teknik pengawetan daging dengan menggunakan garam dalam konsentrasi tertentu. Seiring dengan berkembangnya rantai dingin, metode curing dinilai tidak efisien namun curing tetap dilakukan dengan tujuan membentuk sifat sensoris daging. Curing bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging,menghambat aktibitas mikrobia terutama Clostridium botulinum, memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah memperbaiki warna daging menjadi merah pink. Penyebab warna merah karena bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi dengan pigmen daging (mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile daging. Contoh produk olahan daging curing yang banyak di pasaran seperti adalah bacon (daging babi, sapi, kalkun), sosis (hotdog, franks, cocktaill), cornet dan dendeng (Rahmawati, 2011).
2.         TEORI
            Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging.
            Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai karkas dapat diukur secara subyektif, misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode panel. Disamping kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil, yaitu estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas.
            Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging.
Daging
            Daging merupakan komponen utama karkas yang tersusun dari lemak, jaringan adipose tulang, tulang rawan, jaringan ikat dan tendon. Komponen-komponen tersebut menentukan ciri-ciri kualitas daging, organ-organ misalnya hati, ginjal. Otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas dan jaringan otot tidak termasuk dalam definisi ini.
            Daging merah adalah daging yang menunjukkan warna merah sebelum dimasak. Daging sapi, domba, kambing, kelinci, kerbau dan daging rusa disebut dengan daging merah. Daging ternak mamalia umumnya disebut daging merah. Warna merah yang terdapat pada daging-daging tersebut disebabkan oleh kandungan dari mioglobin. Mioglobin adalah protein yang membawa oksigen pada jaringan hewan ternak (Wikipedia, 2005).
            Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging Beku), daging masak, daging asap, dan daging olahan (Tafal, 1981). Daging segar jika dipotong mula-mula berwarna ungu tapi lama kelamaan permukaan daging berubah berwarna merah dan akhirnya menjadi coklat. Terbentuknya warna coklat ini sering digunakan sebagai petunjuk menurunnya Sifat fisiologi daging sangat menarik untuk dipelajari.
            Terjadinya fenomena-fenomena seperti variasi perubahan tekstur pasca  penyembelihan dan pemotongan perlu dikaji lebih mendalam. Jika dilakukan pentahapan proses yang didasarkan pada urutan proses yang terjadi pasca penyembelihan, proses awal yang terjadi pada daging dikenal dengan istilah prerigor, kemudian diikuti rigor mortis kemudian diakhiri dengan post rigor atau pasca rigor. Hewan setelah disembelih, proses awal yang terjadi pada daging adalah pre rigor. Setelah hewan mati, metabolisme yang terjadi tidak lagi sabagai metabolisme aerobik tapi menjadi metabolisme anaerobik karena tidak terjadi lagi sirkulasi darah ke jaringan otot. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk. Akibatnya pH jaringan otot menjadi turun. Penurunan pH terjadi perlahan-lahan dari keadaan normal (7,2-7,4) hingga mencapai pH akhir sekitar 3,5-5,5. Sementara itu jumlah ATP dalam jaringan daging masih relatif konstan sehingga pada tahap ini tekstur daging lentur dan lunak. Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase prerigor ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase postrigor. Daging pada fase prerigor. Hal ini disebabkan pada fase ini hampir 50% protein-protein daging yang larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al, 1975).
            Karakteristik ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya. Mengingat pada sistem emulsi dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk berperan sebagai emulsifier. Tahap selanjutnya yang dikenal sebagai tahap rigor mortis. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging. Jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami crosslinking. Kekakuan yang terjadi juga dipicu terhentinya respirasi sehingga terjadi perubahan dalam struktur jaringan otot hewan, serta menurunnya jumlah adenosine triphosphat (ATP) dan keratin phosphat sebagai penghasil energi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
            Jika penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan kelenturan otot. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energi yang dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi reticulum sarkoplasma sebagai pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca di sekitar miofilamen serendah mungkin. Akibatnya, terjadi pembebasan ionion Ca yang kemudian berikatan dengan protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin). Proses ini ditandai dengan terjadinya pengerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari 0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna. Daging menjadi keras dan kaku. Keadaan rigor mortis yang menyebabkan karakteristik daging alot dan keras memerlukan waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk kembali.
            Tanda melunaknya kembali tekstur daging menandakan dimulainya fasepost rigor atau pascarigor. Melunaknya kembali tekstur daging bukan diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin, akan tetapi akibat penurunan pH. Pada kondisi pH yang rendah (turun) enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garis garis gelap pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara serabut-serabut otot. Enzim katepsin yang bersifat proteolitik, juga melonggarkan struktur protein serat otot .
            Mutu daging dikaitkan dengan aspek konsumsi (the eating quality of meat) dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: a. Warna b. Water holding capacity dan Juiciness c. Tekstur dan keempukan d. Odor dan Taste (Astawan, 1989.)
Daging Curing
            Cured meat (daging curing) dihasilkan dari proses pemberian garam curing kepada daging. Garam curing terdiri dari garam, nitrit dan atau nitrat, gula serta bumbu lain. Curing dapat dilakukan secara kering (dry curing) atau secara basah (wet curing). Curing kering dilakukan dengan melumuri daging dengan garam curing. Curing basah (wet curing atau dikenal juga sebagai brine curing) dilakukan dengan merendam daging dalam larutan garam curing atau dengan menyuntikkan larutan garam curing ke dalam daging dengan alat khusus. Daging yang telah diberi garam curing disimpan beberapa hari, kemudian daging dibilas, yang selanjutnya siap disajikan atau diasap.
            Garam nitrat dan nitrit pada umumnya sering digunakan pada proses curing daging guna mendapatkan warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikrobia. Mekanisme curing menurut Winarno (2002) adalah nitrit bereaksi dengan gugus sulfhidril dan membentuk senyawa yang tidak dapat dimetabolisasi oleh mikrobia dalam kondisi anaerob. Pada daging, nitrit membentuk nitroksida yang dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobin yang berwarna merah cerah.
            Pembentukan nitrooksida dapat terlalu banyak jika hanya menggunakan garam nitrit, oleh sebab itu biasanya digunakan campuran garam nitrat dan garam nitrit. Garam nitrat akan tereduksi oleh bakteri nitrat menghasilkan nitrit. Peranan garam nitrat sendiri sebagai bahan pengawet masih dipertanyakan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapat bahwa nitrat tidak dapat mencegah kebusukan, bahkan akan mempercepat kebusukan dalam keadaan aerobik.
            Gula berfungsi untuk memperbaiki flavor, mengurangi rasa asin akibat penambahan garam,mengurangi kekerasan akibat adanya penambahan garam (pelunak), mempengaruhi warna melalui karamelisasi. Waktu curing yang lama akan member kesempatan bakteri untuk memanfaatkan gula sebagai sumber nutrient.  Gula efektif sebagai pemgawet karena menghambat pertumbuhan bakteri.
            Air selain sebagai carrier, juga penting untuk mengatur juiceness dari produk yang dihasilkan.
3.         Formulasi dan Perlakuan
Cara Kering
Cara Rendam
Daging 200 gram
Daging 200 gram
Sendawa 3% b/b daging
Sendawa 3% b/b daging
Garam 6% b/b daging
Garam 6% b/b daging
Gula pasir 3% b/b daging
Gula pasir 3% b/b daging
-
Air 5% b/b daging (ml)

Perlakuan daging curing
            Curing dapat dilakukan, baik pada daging segar (cured-raw meats) maupun daging olahan (cured-cooked meats). Cured-raw meats tidak mengalami proses pemanasan selama pengolahannya, sedangkan cured-cooked meat mengalami proses pemanasan, seperti pasteurisasi atau sterilisasi. Metode curing dapat dikelompokkan sebagai berikut (Hendry, 2011) :
1)      Dry curing
Metode ini merupakan cara tradisional, terutama untuk cured-raw meats.  Dagingdiselimuti garam, gula, nitrit dan disimpan pada suhu rendah.  Garam kemudian akan memasuki jaringandaging.  Pada saat yang bersamaan, cairan juga akan keluar dari dalam daging. Nitrit berfungsi untuk fiksasi warna merah daging, antimicrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Nitrit merupakan bahan tambahan yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging pada proses curing. Selain itu, nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan clostridium botulinum yang bersifat racun bila dikonsumsi manusia sehingga menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi nitritoksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitritoksida dan myoglobin berubah menjadi nitritoksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama sodium nitrite. Gula berfungsi untuk memperbaiki flavor, mengurangi rasa asin akibat penambahan garam,mengurangi kekerasan akibat adanya penambahan garam (pelunak), mempengaruhi warna melalui karamelisasi. Daging disimpan dalam refrigerator selama 7 hari.
2)      Curing basah
Curing secara basah adalah dengan merendam daging kedalam larutan yang mengandung bahan-bahan curing. Caranya adalah merendamkan daging kedalam larutan garam dengan perbandingan 1:1. Larutan garam yang dibuat adalah 6% NaCl, 3% sendawa, 3% gula dan 5% air. Perendaman dilakukan selama 7 hari dan disimpan dalam refrigerator.
4.         Prosedur Kerja
            4.1       Pengamatan Fisik Kimia
·         Pengamatan Warna Daging

Diamati warna daging kambing yang ingin di olah dengan mata.

·         Keempukan dan Tekstur Daging

Keempukan dan tekstur daging secara relatif dengan cara di sentuh dan di pijit.

·         pH Daging















Rounded Rectangle: Daging 5 gram di cacah halus


Rounded Rectangle: Masukkan ke dalam gelas ukur








Rounded Rectangle: Tambahkan aquadest secukupnya lalu larutkan


Rounded Rectangle: Ukur pH daging dengan pH Indikator




 










·         Susut Masak











Rounded Rectangle: Masukkan 10 gram daging ke dalam plastik
Rounded Rectangle: Masukkan kantung plastik ke dalam pemanas air bersuhu 800C selama 30 menit







Rounded Rectangle: Dinginkan daging pada suhu kamar kemudian timbang



 









·         Warna Holding Capacity (WHC)

-          Metode Sentrifues






















Rounded Rectangle: Daging 10 gram di cacah halus



Rounded Rectangle: Masukkan aquadest 10ml



Rounded Rectangle: Tabung di tutup dan di inkubasi semalam pada suhu 00C


Rounded Rectangle: Di kocok









Rounded Rectangle: Tabung di sentrifues dengan kecepatan 3000rpm selama 20 menit



Rounded Rectangle: Pisahkan cairan dari campuran dan ukur volumenya





 



                                                                                         




            4.2       Daging Curing
5.         Data Pengamatan
            5.1       Data Pengamatan Fisikokimia Daging
Daging
Warna
Tekstur
pH
%WHC
%SusutMasak
Ayam
Kuning kemerahan
Kenyal, agak keras
6
29
41
Kambing
Coklat pucat
Empuk
6
45
36
Kerbau
Merah tua
Empuk
6
38
39
Sapi
Merah tua
Empuk
5
30
25

      1)            WHC
Bobot daging              : 10 gram
Volume air terserap     : 4,5 mL

%WHC           =
            =  
= 45%

      2)            SusutMasak
a.       Bobot daging awal (Wo)        : 50 gram
b.      Bobot daging akhir (Wi)         : 32 gram

c.       %Susut masak =   x 100%
                        =  x 100%
                        = 36%
Daging sebelum di kuring
Jenis curing
Warna daging
Tekstur
Bau daging
Kering
3
2
2
Basah
3
2
2

Daging setelah penguringan
Jenis curing
Warna daging
Tekstur
Aroma daging
Kering
2
3
4
Basah
2
3
4

Ket: Warna
1.         Merah tua
2.         Merah pucat
3.         Coklat pucat
4.         Coklat tua
Ket: Tekstur
1.         Sangat lunak
2.         Lunak
3.         Agak lunak
4.         Keras
Ket: Aroma
1.         Sangat amis
2.         Amis
3.         Agak amis
4.         Tidak amis


Daging setelah dipanggang
Jenis curing
Warna daging
Tekstur
Aroma daging
Rasa
Kering
4
3
4
1
Basah
3
3
4
2

Keterangan :
Tekstur
Aroma
Rasa
Warna
1
Sangat empuk
1
Sangat amis
1
Sangat Gurih
1
Sangat merah
2
Empuk
2
amis
2
Gurih
2
merah
3
Agak empuk
3
Agak amis
3
Agak gurih
3
Merah gelap
4
Tidak empuk
4
Tidak amis
4
Hambar
4
Abu-abu

6.         Pembahasan
Daging merupakan semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut dapat dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein  nabati. Kualitas daging dipengaruhi oleh proses sebelum, saat dan sesudah penyembelihan.Bagian yang terpenting yang menjadi acuan dalam pemilihan daging oleh konsumen adalah sifat fisik. Sifat fisik tersebut antara lain warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan.Daging memiliki sifat fisik yang berbeda antara sumber bahan satu dengan yang lainnya. Pada praktikum ini kami mengamati empat jenis daging yang berbeda, yaitu ayam, kambing, kerbau, dan sapi. Keempat daging tersebut diamati dan dicek warna, tekstur,pH, %WHC, dan %susut masaknya.
Parameter warna merupakan hal pertama yang diamati konsumen untuk memilih daging. Daging dengan warna menyimpang dianggap sebagai daging berkualitas rendah. Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil warna daging ayam kuning kemerahan, kambing cokelat pucat, kerbau dan sapi merah tua. Intensitas warna merah daging yang berbeda-beda dipengaruhi oleh  mioglobin. Perbedaan kadar miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies, jenis kelamin, umur dan aktifitas fisik hewan. Hal ini menjelaskan kenapa daging kerbau lebih merah dari daging sapi dan daging sapi lebih merah dari daging ayam.
Warna daging juga dipengaruhi oleh kondisi penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan, serta suhu dan lama waktu penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi oksidasi mioglobin yang menyebabkan perubahan warna daging.Ketika daging segar dipotong, maka warna awal yang terlihat adalah warna merah keunguan dari mioglobin. Setelah beberapa saat terpapar dengan oksigen diudara, maka permukaan daging segar tersebut akan berubah warna menjadi merah terang karena terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin. Permukaan daging yang mengalami kontak dengan udara untuk waktu lama, akan berwarna coklat, karena oksimioglobin teroksidasi menjadi metmioglobin.
Pada daging ayam warna seharusnya yang baik adalah putih kekuningan begitupula dengan daging kambing seharusnya yaitu merah kecoklatan. Penyimpangan ini dimungkinkan terjadi karena faktor setelah proses penyembelihan yang menyebabkan warna daging sudah teroksidasi lama sehingga warna dagingnya sudah tidak segar dan usia ayam.
Keempukan dan tekstur daging merupakan parameter yang menentukan kualitas daging. Keempukan daging dipengaruhi oleh keadaan ternak saat penyembelihan. Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot, pH juga berpengaruh terhadap keempukkan.
Berdasarkan hasil praktikum kami, daging ayam bertekstur kenyal dan agak keras, sedangkan daging kambing, kerbau, dan sapi bertekstur empuk. Tekstur ayam yang agak keras dapat dimungkinkan karena pada saat rigormortis ayam terlalu banyak bergerak atau stres, sehingga otot memendek. Ikatan antarfilamen pun makin banyak sehingga daging ayam alot. Pada ketiga daging lainnya keempukkan terjadi karena telah memasuki fase pascarigor yaitu proses pengempukkan kembali dengan adanya pelayuan.
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging. Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigormortis.Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan).  
Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba. Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas.
Tingkat keasaman tiap daging diukur dengan pH universal, berdasarkan hasil praktikum daging ayam, kambing, kerbau memiliki pH 6 sedangkan sapi lebih asam yaitu pH 5. Nilai pH otot (daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral).  Setelah hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam laktat.  Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar  7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6.  Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3.  Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010).
Daya menahan air (Water Holding Capacity) didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan. Berdasarkan hasil praktikum kami, nilai WHC ayam, kambing, kerbau, dan sapi berturut-turut adalah 29, 45, 38, dan 40%. Nilai tertinggi WHC yaitu daging kambing dan terendah adalah daging ayam.
Bouton et al. (1971) dan Wismer-Pedersen (1971) menyatakan bahwa daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7 – 10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 – 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal.Dengan demikian pada saat pH daging diatas atau dibawah titik isolektrik protein-protein daging maka DMA akan meningkat.
Parameter susut masak yaitu menghitung selisih antara bobot daging awal dengan akhir yang dibandingkan terhadap bobot awal. Daging bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh %susut masak daging ayam, kambing, kerbau, dan sapi berturut-turut yaitu 41, 36, 39, dan 25%
Daya ikat air yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging. Namun, berdasarkan data hasil praktikum diperoleh korelasi yang tidak sesuai antara WHC dan susut masak daging karena datanya fluktuatif. Faktor yang dapat mempengaruhi hasil tersebut yaitu menurut Soeparno (1994) mengatakan bahwa susut masak dipengaruhi panjang serabut otot. Semakin panjang serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin besar. Susut masak juga dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.
Pada praktikum kali ini, praktikan membuat daging kuring dengan menggunakan daging kambing yang masih memiliki lemak-lemak. Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya (Suharyanto, 2008). Proses curing ini membutuhkan garam dalam konsentrasi tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah garam yang ditambahkan dalam daging sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti temperatur dan tingkat keasaman (pH). Kondisi tersebut akan mempengaruhi keefektifan fungsi garam sehingga tidak ada batasan pasti yang menentukan konsentrasi garam dalam proses curing (Heni, 2007).
Proses yang dilakukan meliputi pemisahan daging dengan lemak yang menempel, pencucian daging menggunakan air mengalir, kemudian daging dibagi menjadi dua potong dengan ukuran yang sesuai. Dilakukan proses penguringan pada dua potong daging yang dilakukan secara berbeda. Daging pertama dilakukan menggunakan metode kering dan daging yang kedua dilakukan dengan menggunakan metode basah. Perbedaan yang terdapat pada metode ini yaitu metode kering merupakan cara tradisional, terutama untuk cured-raw meats.  Caranya daging diselimuti garam dan disimpan pada suhu rendah. Garam kemudian akan memasuki jaringan daging.  Pada saat yang bersamaan, cairan juga akan keluar dari dalam daging.  Setelah itu daging yang telah disimpan selama beberapa hari dilakukan pembaluran kembali agara garam, gula dan nitrit memasuki jaringan daging hingga menyelimuti keseluruhan daging yang diguakan.  Selanjutnya metode basah prosesnya  sama dengan kering namun tidak adanya perlakuan pembalular kembali serta metode ini menggunakan air untuk merendam daging yang digunakan.
Proses kuring pada daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging, menstabilkan flavor, mengawetkan dan lain-lainnya serta memiliki tiga tujuan utama, yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan warna (color). Curing juga bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging dan menghambat aktivitas mikroba terutama Clostridium botulinum (Rahmawati, 2011).
            Nitrit dapat berubah menjadi nitrit oksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitrit oksida dan myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama sodium nitrite. Untuk metode basah ditambahkan sedikit air, air selain sebagai carrier, juga penting untuk mengatur juiceness dari produk yang dihasilkan (Hendry, 2011).
            Daging yang telah disimpan di suhu rendah selama satu minggu dilakukan pengamatan secara organoleptik dengan memanggang daging kuring menggunakan oven selama  ±dua jam dengan suhu ±1500C. Pemanggangan daging dilakukan secara bersama-sama dalam satu loyang. Alasan daging kuring dimasak dengan cara dipanggang dalam oven karena tekstur daging kambing yang alot jika dilakukan pemasakan dengan cara digoreng akan mempersulit proses organoleptik.
            Berdasarkan hasil uji organoleptik yang telah dilakukan pada daging kuring, maka dapat diketahui warna dari kedua metode tersebut, metode kering menghasilkan warna abu-abu dengan skala 4 sedangkan metode basah menghasilkan warna merah gelap dengan skala 3. Warna merah dihasilkan dari senyawa yang digunakan yaitu nitrit. Penyebab warna merah karena bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi dengan pigmen daging (mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile daging.  
            Pigmen daging (mioglobin) akan mengalami perubahan warna selama proses curing. Mioglobin yang bereaksi dengan nitrit oksid akan membentuk nitrit oksid mioglobin yang berwarna merah cerah. Apabila terjadi pemanasan nitrit oksid mioglobin akan menjadi nitrosil hemokrom yang berwarna merah muda. Selain itu mioglobin dengan adanya oksigen akan menjadi oksimioglobin (reaksi tersebut dapat berlangsung bolak balik). Adanya reduksi dan oksigenasi menyebabkan oksimioglobin menjadi metmioglobin yang berwarna coklat. Denaturasi metmioglobin terjadi karena pemanasan metmioglobin. Metmioglobin dapat kembali membentuk mioglobin karena proses reduksi, begitu pula mioglobin yang teroksidasi dapat menjadi metmioglobin. Metmioglobin dapat membentuk nitrit oksid mioglobin karena proses reduksi +NO dan nitrit oksid mioglobin akan membentuk metmioglobin karena oksidasi oleh oksigen. Reaksi nitrosil hemokrom dapat membentuk metmioglobin terdenaturasi karena adanya oksidasi. Sebaliknya metmioglobin terdenaturasi menjadi nitrosil hemokrom karena terjadi reduksi +NO. Apabila nitrosil hemokrom dan metmioglobin terdenaturasi teroksidasi gugus porfilinnya maka warna daging akan hijau, kuning atau warna rusak. Daging segar yang kena udara menunjukkan warna merah mirip oksimioglobin pada permukaan. Bagian dalam daging, mioglobin berada dalam keadaan tereduksi dan daging berwarna hijau atau lembayung gelap. Selama ada senyawa yang mereduksi dalam daging, mioglobin akan tetap berada dalam bentuk tereduksi. Jika senyawa yang mereduksi habis, warna coklat metmioglobin akan menonjol (Deman, 1979). Salah satu upaya mempertahankan warna merah daging dilakukan dengan cara curing.
            Terjadi perbedaan warna antara cara kering dengan rendam. Cara rendam menghasilkan warna merah gelap sedangkan cara kering daging berwarna abu-abu. Hal ini dikarenakan tingkat kelarutan KNO3 (sendawa) yang tinggi dalam air sehingga lebih bereaksi pada daging dengan metode rendam serta ketebalan daging dengan metode kering lebih tebal dibanding dengan rendam sehingga nitrit sukar menyerap ke dalam daging dan kekurangan nitrit sehingga warna daging metode kering pucat bisa juga disebabkan oleh oksidasi kimiawi, misalnya larutan hidrogen peroksida atau karena aktivitas bakteria (Soeparno, 1994).
            Berdasarkan parameter rasa, metode rendam memiliki rasa yang pas dibandingkan metode kering. Metode kering memiliki rasa yang sangat asin, hal ini dikarenakan pada metode kering dilakukan proses pembaluran dua kali sehingga menghasilkan rasa yang lebih asin dibandingkan metode basah dan kedua daging curing yang tidak dibilas dengan air terlebih dahulu sebelum dimasak.
            Kemudian dari parameter aroma didapatkan aroma yang seimbang dengan skala yang dimiliki pada kedua metode tersebut dengan skala 4 yaitu tidak amis. Aroma yang dihasilkan untuk kedua metode tersebut aroma khas daging yang terbentuk dan tidak ada bau amis daging kambing sama sekali.
            Dari segi tekstur, hasil uji organoleptik yang diperoleh tekstur daging pada kedua metode tersebut seimbang dengan skala 3 yaitu agak empuk. Hal ini karena dengan penggunaan curing seperti sendawa  yang termasuk sebagai bahan tambahan pangan dapat mempengaruhi tekstur daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra (2008) yang mengatakan bahwa sendawa mampu mempertahankan warna, aroma, dan tekstur selama proses pemasakan sehingga memberikan daya tarik sensorik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa BTP adalah bahan yang tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan dan tidak merupakan bahan baku pangan, dan penambahannya ke dalam pangan ditujukan untuk mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna, rasa, keken¬talan, dan aroma, untuk mengawetkan, atau untuk mempermudah proses pengolahan.
           
7.         Kesimpulan
            Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress.
                Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging.
                Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging.
            Intensitas warna merah daging yang berbeda-beda dipengaruhi oleh  mioglobin. Perbedaan kadar miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies, jenis kelamin, umur dan aktifitas fisik hewan. Hal ini menjelaskan kenapa daging kerbau lebih merah dari daging sapi dan daging sapi lebih merah dari daging ayam. Warna daging juga dipengaruhi oleh kondisi penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan, serta suhu dan lama waktu penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging.
            Penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot, pH juga berpengaruh terhadap keempukkan.
            Setelah hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam laktat. Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3.  Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja.
Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan. Nilai tertinggi WHC yaitu daging kambing dan terendah adalah daging ayam.
Daging bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Susut masak dipengaruhi panjang serabut otot. Semakin panjang serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin besar. Susut masak juga dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil daging curing yaitu, lamanya penyimpanan; selama penyimpanan mengakibatkan konsentrasi nitrit semakin menurun, metode yang digunakan; menurut kami, metode rendam menghasilkan hasil curing yang lebih baik dengan metode kering, kuantitas sendawa atau konstrasi nitrit; bila jumlah terlalu banyak dapat menyebabkan daging proses menjadi berwarna hijau dan disebut “terbakar nitrit”, mungkin karena oksidasi pigmen daging curing. Sebaliknya kekurangan nitrit dalam curing dapat menyebabkan warna pucat.
Penggunaan nitrit sebagai pengawet bertujuan untuk:
1.      Menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen; Nitrit menghambat produksi toksin Clostridium botulinum dengan menghambat pertumbuhan dan perkembangan spora atau dengan cara membentuk senyawa penghambat bila nitrit pada daging dipanaskan. Nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan Clostridium perferingens dan Staphylococcus aureus pada daging.
2.      Membentuk cita rasa; Peranan nitrit yang berhubungan dengan cita rasa daging olahan atau awetan bersifat sebagai antioksidan. Nitrit akan menghambat oksidasi lemak yang akan membentuk senyawa-senyawa karbonil seperti aldehid, asam-asam dan keton yang menyebabkan rasa dan bau tengik.
3.      Memberi warna merah muda yang menarik; Penambahan nitrit pada daging olahan terutama bertujuan untuk memberi warna merah muda yang menarik. Perubahan warna secara kimia sangat kompleks. Pigmen dalam otot daging terdiri dari protein yang disebut mioglobin. Mioglobin dengan oksigen akan membentuk oksimioglobin yang berwarna merah terang.Warna merah terang dari oksimioglobin tidak stabil,dan dengan oksidasi berlebihan akan berubah menjadi metmioglobin yang berwarna coklat.Tetapi yang mengalami penambahan nitrit akan tetap berwarna merah(Winarno, 1980). Menurut Buckle (1987), mioglobin bereaksi degan nitrogen oksidasi menghasilkan senyawa nitroso-mioglobin, yang selanjutnya mengalami perubahan oleh panas dan garam membentuk nitroso-myochromagen yang mempunyai warna merah muda yang relatif stabil. Pada umumnya proses curing terjadi karena: a. Reaksi biologis yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu mereduksi ferri menjadi ferro. b. Terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang di-curing dipanaskan pada suhu 150° F atau lebih, maka terjadi proses denaturasi. c. Hasil akhir curing daging membentuk pigmen nitrosilmioglobin bila tidak dimasak, dan nitrosilhemokromogen bila telah dimasak


     
           









DAFTAR PUSTAKA
Arianto. 2012. http://konsultansolokselatan.blogspot.com/2011/12/daging-kuring.html?m=1
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Saragih. 2011. repository.usu.ac.id.
Hendry, N. 2011. Teknologi Curing. http:// foodreview. biz /preview. php?view2&id=56560#. UVp_QRcqysQ. Diakses pada tanggal 9 Mei 2015.
Heni. 2007. Teknologi Pangan. http://ftpunisri.blogspot.com/2007/10/jangan-gunakan-formalin-untuk.html. Diakses pada tanggal 9 Mei 2015.
Suharyanto. 2008. Pengolahan Bahan Pangan Hasil Ternak. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Rahmawati, D. 2011. Teknologi Curing Pada Daging dan Ikan. http://yuphyyehahaa. blogspot.com/2011/06/teknologi- daging-dan- ikancuring.html. Diakses pada tanggal 9 Mei 2015.
Putra, R.P., 2008. Waspadai pembentukan nitrosamin pada daging yang diawetkan dengan sendawa. http://www.kendariekspress.com. Diakses pada tanggal 9 Mei 2015.
http://eprints.uns.ac.id/6942/1/Unlock-e.pdf







Lampiran
Daging kambing metode kering
 
Daging kambing metode rendam
 
                       



 
Sebelah kiri metode kering, sebelah kanan metode rendam (Daging kambing setelah dipanggang)
 
Sebelah kiri metode kering, sebelah kanan metode rendam (Daging kambing sebelum dipanggang)
 
                                                  

0 komentar:

Posting Komentar

My Birthday :)

Daisypath - Personal pictureDaisypath Happy Birthday tickers
 

PURPLE CATZ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review